Sabtu, 19 Mei 2012

KEHIDUPAN ANAK BROKEN HOME


            Keluarga merupakan himpunan kecil dari pengelompokan individu yang terdiri dari ayah, ibu, anak, paman dan tante, kakek dan nenek, dan lain-lain. Keluarga khususnya orang tua merupakan pilar utama dalam pembertumbuhan dan perkembangan anak.
Pada awalnya ibu merupakan orang pertama yang mempengaruhi perkembangan anak, mengapa demikian? Karena, ibu merupakan orang yang senantiasa berada pada tahap-tahap awal perkembangan anak, dari anak mulai meraba, melihat dan sebagainya. Disini, bukan berarti ayah tidak memiliki peran dalam proses perkembangan anak, karena pada kenyataannya anak memiliki kebutuhan berbeda yang tidak bisa ia dapatkan dari sosok ibu maupun sebaliknya. Jadi, kedua kasih sayang dari ayah dan ibu adalah suatu hal kebutuhan yang memang harus didapatkan oleh anak.
Tetapi, pernahkah anda sadari, bahwa sebagian anak perempuan lebih dekat dengan ayah dibanding dengan ibu?? Tentu saja, hal demikian bukan menjadikan tolak ukur kita untuk mengatakan bahwa anak lebih sayang kepada ayahnya saja dan tidak memperdulikan ibunya, tetapi hal tersebut didasari pada bentuk kasih sayang yang ia dapat pertama kali dari lawan jenis adalah ayah mereka dan hal demikian juga ditemukan pada anak laki-laki yang cenderung lebih dekat kepada ibu.
Oleh karena itu, keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Pandangan tersebut memanglah tepat untuk melukiskan peran keluarga karena, orang tua merupakan orang pertama yang memberikan contoh tingkah laku dan tutur bahasa yang baik maupun kurang baik pada anak, “BUAH JATUH, TIDAK AKAN JAUH DARI POHONNYA” sepertinya peribahasa itu tepat untuk pencerminan perkembangan karakter anak di masa depan.
Sebegitu pentingnya peran orangtua dalam pendidikan karakter anak, dan hal itulah yang mendasari terbentuknya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional[1] No.2 Tahun 1989 pasal 10 ayat 4 yang menyatakan bahwa “ Keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai-nilai moral, dan keterampilan pada anak.
Seperti, yang sudah saya tekankan diatas bahwa keluarga merupakan pilar dasar pembentukan kepribadian anak dan keberhasilan anak mencapai tugas-tugas perkembangannya. Di artikel yang penulis susun, selain diperuntukkan sebagai tugas akhir Mata Kuliah Psikologi Perkembangan, penulis juga ingin mengetahui apa itu broken home, penyebab terjadinya broken home, dampak yang dapat ditimbulkan dari kehidupan anak yang memiliki satu orang tua tunggal dan mengetahui bagaimana cara menanggulangi dampak tersebut, meski hanya diasuh oleh satu orang tua saja.

BROKEN HOME

            Broken Home adalah kurangnya perhatian dari keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua sehingga membuat mental seorang anak menjadi frustasi, brutal dan susah diatur. Istilah “broken home” biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang berantakan akibat orang tua tidak lagi peduli dengan situasi dan keadaan keluarga di rumah. Orang tua tidak lagi perhatian terhadap anak-anaknya, baik masalah di rumah, sekolah, sampai pada perkembangan pergaulan anak-anaknya di masyarakat. Sehingga menimbulkan perceraian atau perselisihan yang berkepanjangan.
Namun, broken home dapat juga diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian[2].
Dengan kata lain broken home adalah suatu keadaa dimana orang tua sudah tidak harmonis, sering bertengkar dan menimbulkan keributan, yang berakibat pada ke tiadaan lagi untuk memberikan kasih sayang dan kepedulian terhadap anak, sehingga anak tidak lagi mendapatkan sesorang untuk diayomi atau dijadikan tauladan bagi mereka.

PENYEBAB BROKEN HOME

Keluarga bermasalah tidak serta merta datang begitu saja, tetapi tentu saja mereka memiliki dasar utama terjadinya perpecahan atau pertengkaran dalam keluarga. Inilah beberapa penyebab utama keluarga disebut broken home, yaitu[3]:
1.        Terjadinya perceraian
Faktor yang menjadi penyebab perceraian adalah pertama adanya disorientasi tujuan suami istri dalam membangun mahligai rumah tangga; kedua, faktor kedewasaan yang mencakup intelektualitas, emosionalitas, dan kemampuan mengelola dan mengatasi berbagai masalah keluarga; ketiga, pengaruh perubahan dan norma yang berkembang di masyarakat.
Semua itu menunjukkan pada sebuah kenyataan dikehidupan suami istri yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang serta dasar-dasar perkawinan yang telah terbina bersama, telah goyah dan tidak mampu lagi menompang keutuhan kehidupan keluarga yang harmonis. Dengan demikian hubungan suami istri antara suami dan istri tersebut makin lama makin renggang, masing-masing atau salah satu membuat jarak sedemikian rupa sehingga komunikasi terputus sama sekali. Hubungan itu menunjukan situas keterasingan dan keterpisahan yang makin melebar dan menjauh ke dalam dunianya sendiri. jadi ada pergeseran arti dan fungsi sehingga masing-masing merasa serba asing tanpa ada rasa kebertautan yang intim lagi.

2.        Kebudayaan bisu dalam keluarga
Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antar anggota keluarga. Keluarga yang tanpa dialog dan komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel dalam jiwa anak-anak. Bila orang tua tidak memberikan kesempatan dialog dan komunikasi dalam arti yang sungguh yaitu bukan basa basi atau sekedar bicara pada hal-hal yang perlu atau penting saja, anak-anak tidak mungkin mau mempercayakan masalah-masalahnya dan membuka diri kepada orang tuanya, mereka lebih baik berdiam diri saja.
Situasi kebudayaan bisu ini akan mampu mematikan kehidupan itu sendiri dan pada sisi yang sama dialog mempunyai peranan yang sangat penting. Kenakalan remaja dapat berakar pada kurangnya dialog dalam masa kanak-kanak dan masa berikutnya, karena orangtua terlalu menyibukkan diri sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta kasih diabaikan. Akibatnya anak menjadi terlantar dalam kesendirian dan kebisuannya.
Ternyata perhatian orangtua dengan memberikan kesenangan materiil belum tentu mampu menyentuh kemanusiaan anak. Dialog tidak dapat digantikan dengan kedudukannya, dengan benda mahal dan bagus atau sebagainya. Karena menggantikan dialog berarti melemparkan anak ke dalam sekumpulan benda mati dan bisa mengancam anak kearah yang liar di dunia luar.
3.        Perang dingin dalam keluarga
Dapat dikatakan perang dingin adalah lebih berat dari pada kebudayaan bisu. Sebab dalam perang dingin selain kurang terciptanya dialog juga disisipi oleh rasa perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak. Sehingga kondisi didalam rumah menjadi tidak nyaman dan menjadi malas pulang kerumah.
4.        Ketidak dewasaan sikap orang tua.
Ketidakdewasaan sikap orang tua salah satunya dilihat dari sikap egoisme dan egosentrime. Egoisme adalah suatu sifat buruk manusia yang mementingkan dirinya sendiri. Sedangkan egosentrisme adalah sikap yang menjadikan dirinya pusat perhatian yang diusahakan oleh seseorang dengan segala cara. Pada orang yang seperti ini orang lain tidaklah penting. Dia mementingkan dirinya sendiri dan bagaimana menarik perhatian pihak lain agar mengikutinya minimal memperhatikannya. Akibatnya orang lain sering tersinggung dan tidak mau mengikutinya.
Misalnya ayah dan ibu bertengkar karena ayah tidak mau membantu mengurus anaknya yang kecil yang sedang menangis alasannya ayah akan pergi main badminton. Padahal ibu sedang sibuk di dapur. Ibu menjadi marah kepada ayah dan ayah pun membalas kemarahan tersebut, terjadilah pertengkaran hebat di depan anak-anaknya, suatu contoh yang buruk yang diberikan oleh keduanya.
5.      Orang tua yang kurang memiliki rasa tanggung jawab
Tidak bertanggungjawabnya orang tua, salah satunya lagi-lagi adalah masalah kesibukan. Kesibukan orang tua dalam urusan ekonomi ini sering membuat mereka melupakan tanggungjawabnya sebagai orang tua. Dalam masalah ini, anak-anaklah yang mendapat dampak negatifnya. Yaitu anak-anak sering tidak diperhatikan baik masalah di rumah, sekolah, sampai pada perkembangan pergaulan anak-anaknya di masyarakat.
6.      Jauh dari Tuhan
Segala sesuatu keburukan perilaku manusia disebabkan karena dia jauh dari Tuhan. Sebab Tuhan mengajarkan agar manusia berbuat baik. Jika keluarga jauh dari Tuhan dan mengutamakan materi dunia semata maka kehancuran dalam keluarga itu akan terjadi. Karena dari keluarga tersebut akan lahir anak-anak yang tidak taat kepada Tuhan dan kedua orang tuanya. Mereka bisa menjadi orang yang berbuat buruk, yang dapat melawan orang tua bahkan pernah terjadi seorang anak yang sudah dewasa membunuh ayahnya karena ayahnya tidak mau menyerahkan surat-surat rumah dan sawah. Tujuannya agar dia dapat menguasai harta tersebut. Maka dari itu, didiklah anak agar dekat kepada Tuhan, karena hanya Tuhan yang mampu memberikan ketenangan batin kepada kita.

7.        Adanya masalah ekonomi
Dalam suatu keluarga mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Istri banyak menuntut hal-hal di luar makan dan minum. Padahal dengan penghasilan suami sebagai buruh lepas, hanya dapat memberi makan dan rumah petak tempat berlindung yang sewanya terjangkau. Akan tetapi yang namanya manusia sering bernafsu ingin memiliki televisi, radio dan sebagainya sebagaimana layaknya sebuah keluarga yang normal. Karena suami tidak sanggup memenuhi tuntutan isteri dan anak-anaknya akan kebutuhan-kebutuhan yang disebutkan tadi, maka timbullah pertengkaran suami istri yang sering menjurus ke arah perceraian.
Berbeda dengan keluarga miskin, keluarga kaya yang mengembangkan gaya hidup internasional yang serba mewah. Mobil, rumah mewah, serta segala macam barang yang baru mengikuti model dunia. Namun tidak semua suami suka hidup sangat glamour atau sebaliknya. Di sinilah awal pertentangan suami istri yaitu soal gaya hidup. Jika istri yang mengikuti gaya hidup dunia sedangkan suami ingin biasa saja, maka pertengkaran dan krisis akan terjadi. Mungkin suami berselingkuh sebagai balas dendam terhadap istrinya yang sulit diatur. Hal ini jika ketahuan akan bertambah parah krisis keluarga tersebut dan dapat berujung pada perceraian, dan yang menderita adalah anak-anak mereka.
8.        Kehilangan kehangatan di dalam keluarga antara orang tua dan anak
Kurang atau putus komunikasi diantara anggota keluarga menyebabkan hilangnya kehangatan di dalam keluarga antara orang tua dan anak. Faktor kesibukan biasanya sering dianggap penyebab utama dari kurangnya komunikasi. Dimana ayah dan ibu bekerja dari pagi hingga sore hari, mereka tidak punya waktu untuk makan siang bersama, sholat berjamaah di rumah dimana ayah menjadi imam, sedang anggota keluarga menjadi jamaah. Tetapi, pada kenyataannya kedua orang tua pulang hampir malam karena jalanan macet, badan capek, sampai di rumah mata sudah mengantuk dan tertidur. Tentu orang tidak mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dengan anak-anaknya.
Akibatnya anak-anak menjadi remaja yang tidak terurus secara psikologis, mereka mengambil keputusan-keputusan tertentu yang membahayakan dirinya seperti berteman dengan anak-anak nakal, merokok, meneguk alkohol, main kebut-kebutan di jalanan sehingga menyusahkan masyarakat. Dan bahaya jika anak terlibat menjadi pemakai narkoba.
9.        Adanya masalah pendidikan
Masalah pendidikan sering menjadi penyebab terjadinya broken home. Jika pendidikan agak lumayan pada suami istri maka wawasan tentang kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka. Sebaliknya pada suami istri yang pendidikannya rendah sering tidak dapat memahami lika-liku keluarga. Karena itu sering salah menyalahkan bila terjadi persoalan di keluarga. Akibatnya selalu terjadi pertengkaran yang mungkin menimbulkan perceraian. Jika pendidikan agama ada atau lumayan mungkin sekali kelemahan dibidang pendidikan akan di atasi. Artinya suami istri akan dapat mengekang nafsu masing-masing sehingga pertengkaran dapat dihindari.
Dari sekian banyak faktor yang menyebabkan terjadinya masalah Broken Home ini, sesungguhnya masalah utamanya adalah komunikasi yang tidak berjalan dan keegoisan yang terus saja ditanam. Seharusnya, sebagai pasang kita bisa memahami dan saling mengalah satu sama lain, sehingga tidak terjadinya mis-komunikasi yang dapat memicu pertengkaran bahkan kebencian, dan perceraian tidak dapat dihindarkan. Lagi-lagi anak adalah korban dari tingkah laku yang dibuat oleh orang tua.

DAMPAK BROKEN HOME

Suatu hal yang tidak sewajarnya terjadi, jelas akan menimbulkan dampak negatif yang tidak bisa dihindari lagi. Broken home juga demikian, hal itu tentu memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan penyelesaian tugas masa remaja.
Masa remaja adalah masa yang dimana seorang sedang mengalami saat kritis, agar ia mampu menginjak ke masa dewasa, dengan demikian remaja berada dalam masa peralihan. Dalam masa peralihan itu pula remaja sedang mencari identitas dirinya. Dalam proses pencarian dirinya, remaja harus memiliki pengayom atau pembimbing agar ia mampu melangkah maju dengan baik, untuk mengikuti proses perkembangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dalam proses perkembangan remaja yang serba sulit dan masa-masa membingungkan dirinya, remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau keluarganya.
Broken home, merupakan salah satu pemicu anak melakukan hal negatif, karena seperti yang disebutkan diatas bahwa anak yang hidup dikeluarga yang hanya memiliki Ibu atan Ayah atau anak yang hidup dalam pertengkaran orang tua yang berkepanjangan, tidak akan mendapatkan contoh yang baik atau pedoman yang baik dalam hidupnya. Dan inilah, beberapa dampak nyata akibat ulah Ayah dan Ibu yang tidak bertanggung jawab[4]:
a.         Gangguan kejiwaan pada seorang Broken Home
1.         Broken Heart
Anak akan merasakan kepedihan dan kehancuran hati sehingga memandang hidup ini sia-sia dan mengecewakan. Kecenderungan ini membentuk anak menjadi, orang yang krisis kasih sayang dan anak akan cenderung berlari kepada yang bersifat keanehan sexual. Misalnya sex bebas, homo sex, lesbian, jadi simpanan orang, tertarik dengan isteri orang, atau suami orang dan lainnya
2.         Broken Relation
Anak akan merasa bahwa tidak ada orang yang perlu di hargai, tidak ada orang yang dapat dipercaya, sebab ketidak adaan orang yang dapat diteladani. Kecenderungan ini membentuk anak menjadi, orang yang masa bodoh terhadap orang lain, ugal ugalan, cari perhatian, kasar, egois, dan tidak mendengar nasihat orang lain, cenderung “semau gue”.


3.         Broken Values
Anak kehilangan ”nilai kehidupan” yang benar. Baginya dalam hidup ini tidak ada yang baik, benar, atau merusak yang ada hanya yang ”menyenangkan” dan yang ”tidak menyenangkan”, pokoknya apa saja yang menyenangkan dirinya akan dilakukan, dan apa yang tidak menyenangkan baginya tidak akan ia  lakukan.
Selain itu, seorang anak korban “Broken Home” akan mengalami tekanan mental yang berat. Misalnya, dia akan merasa malu dan minder terhadap orang di sekitarnya karena kondisi orang tuanya yang sedang dalam keadaan “Broken Home”. Sehingga anak menjadi sulit bergaul selain itu, mungkin ia akan menjadi gunjingan teman sekitar dan proses belajarnya juga akan terganggu, karena pikirannya tidak terkonsentrasi ke pelajaran saja, tetapi juga terhadap perlakuan teman-temannya dan kehidupan pribadi yang sedang ia alami di rumah. Anak tersebut akan cenderung menjadi pendiam dan cenderung menjadi anak yang menyendiri serta suka melamun.
Bahkan Profesor Kelly Musick, sekaligus penulis buku “Are Both Parents Always Better than One? Parental Conflict and Young Adult Well-Being”, mengungkap bahwa seorang anak yang terlahir dan besar dalam keluarga penuh konflik, cenderung menjadi bodoh secara akademis, dan tak sedikit juga yang akhirnya putus sekolah[5].
Hal tersebut dikarenakan, adanya pikiran-pikiran dan bayangan-bayangan negatif seperti menyalahkan takdir yang seolah membuat keluarganya seperti itu. Seakan sudah tidak ada rasa percaya terhadap kehidupan religi yang sudah ia dapat dari kecil, sehingga  tekanan mental itu akan mempengaruhi kejiwaannya dan dapat mengakibatkan stress dan frustrasi. Bahkan seorang anak bisa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

CARA MEMINIMALISIR KEADAAN
           
Menjadi orang tua tunggal memang memiliki banyak tantangan, pekerjaan yang harus dilakukan menjadi lebih besar. Walaupun pekerjaan semakin besar, orang tua harus tetap memikirkan dampak terhadap anak-anaknya. Orang tuan harus rajin menjaga, merawat, dan mendidiknya. Bahkan tantangan terbesar dari orang tua tunggal adalah pengaruh status pada anak-anak. Anak-anak merasa diabaikan, tidak aman, terasing, dan berbeda dari anak-anak lain yang memiliki ayah ibu yang utuh.
Anda harus bisa membangun hubungan dengan anak-anak Anda, sehingga mereka merasa nyaman berbicara dengan Anda. Agar hubungan Anda baik dengan anak-anak, bisa dimulai dengan kegiatan yang menyenangkan. Anda juga bisa membuat dan menetapkan tugas-tugas yang bisa dilakukan bersama untuk anak-anak Anda. Hal ini dilakukan, agar mereka bisa membantu dan mengurangi pekerjaan Anda dan ini juga mengajarkan pada mereka tanggung jawab yang harus dilakukan[6].
Dengan pendidikan tanggung jawab, mental anak-anak akan semakin baik. Mendidik anak tentang tanggung jawab sangat diperlukan karena ketika Anda pergi bekerja, anak yang di rumah sudah mengerti tanggung jawab. Dan jika ada teman-teman yang mengajak utnuk perbuatan-perbuatan kriminal, misalnya narkoba, berkelahi, mereka bisa menolaknya karena mereka sudah mengerti tentang tanggung jawab[7].
Selain itu, ajarkanlah kepada anak untuk mencerna dan memahami tentang keputusan yang sudah diambil, serta mampu melatih dan mendidik anak untuk tidak menyalahkan orang lain, terhadap faktor penyebab terjadinya broken home ini. Selain itu, orang tua harus mampu membantu anak menarik pelajaran positif terhadap maslah yang sedang terjadi dan yang paling utama adalah mendekatkan diri pada tuhan dan kata kanlah akhir dari kehidupan ini.


DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional


http://kosmo.vivanews.com/news/read/117915-efek__broken_home__seorang_anak

http://tulisendw.blogspot.com/2010/05/pengertian-broken-home-dan-dampak.html

http://yuniehidayat.blogspot.com/2010/08/dampak-single-parent-bagi-anak.html


[1] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
[2] http://yuniehidayat.blogspot.com/2010/08/dampak-single-parent-bagi-anak.html
http://yuniehidayat.blogspot.com/2010/08/dampak-single-parent-bagi-anak.html

[4] http://tulisendw.blogspot.com/2010/05/pengertian-broken-home-dan-dampak.html
[5] http://kosmo.vivanews.com/news/read/117915-efek__broken_home__seorang_anak
[6] http://yuniehidayat.blogspot.com/2010/08/dampak-single-parent-bagi-anak.html
[7] Ibid

10 komentar:

  1. Terimakasih ida.
    mampir lagi yah hihi

    BalasHapus
  2. Artikel yg sungguh tepat, akurat, dan bagus. Ini dibuat berdasarkan penelitian apa pengalaman pribadi ya?
    Soalnya semua kalimat dan isi nya pas sekali dgn apa yg sedang sy alami sekarang. Ya saya anak broken home, tapi tdk berasal dr keluarga yg bercerai, kebetulan nemu artikel ini dan langsung membacanya bahkan menyimpannya sangat persis sekali seperti yg sy alami

    BalasHapus
  3. Postingnya komplit*
    Saya pun setubuh dengan pernyataan Iman Aji..
    Untuk saat ini saya menderita broken home dan entah sampai kapan saya harus seperti ini...

    BalasHapus
  4. jadi anak broken home itu memang berat banget dah,tapi tergantung bagaimana kita menyikapi sih ..
    "tidak ada orang yang dapat dipercaya" itu mungkin sikap untuk menghindari permasalahan,karena saya udah jenuh... padahal sikap itu juga mencari masalah gak sih . hehe

    bagus nih artikelnya !!

    BalasHapus
  5. Saya broken home sudah sejak TK, ikut mma saya, tiap hari ditinggal kerja pagi malem, jarang komunikasi.. Punya mama yg keras egois pemarah, sering kena marah, sering kena pukul waktu kecil.. Sekarang sudah kuliah saya tidak pernah merokok, dugem sedikit tp ga aneh" apalagi narkoba, tp saya tdk merasa bahagia dgn kehidupan saya.. Dr latar belakang eko saya termasuk org yg lebih dr cukup tp saya tdk merasa bahagia.. Walaupun saya tidak minder kalau broken home tp saya sering berantem dgn mama.. Saya selalu dianggap membantah setiap menjawab.. Saya masih buta arah.. Saya sempat mau kabur dr rumah karena lelah dgn kehidupan ini..

    BalasHapus
  6. saya juga broken home. setelah nyokap meninggal trs bokap married lagi. saya sering bertengkar dgn ibu tiri saya, alhasil terjadilah perang dingin di keluarga, dan keluarga saya termasuk kategori keluarga bisu. jarang adanya komunikasi, itu yg menyebabkan saya malas pulang ke rmh.

    BalasHapus
  7. wajar ngga sih kalo kita suka merasa kesal melihat salah satu orang tua kita sudah dekat dengan orang lain belum lama setelah mereka bercerai?

    BalasHapus
  8. saya juga mengalami broken home tapi orangtua saya memilih untuk bertahan bersama tetapi saling berselisih dan membuat kakak adik dan saya merasakan perselisihannya dan juga menjadi keluarga bisu. saya merasakannya mulai dari TK hingga sekarang. saat ini saya dibangku kuliah. sahabat saya selalu menyemangati saya dan selalu menyayangi saya sebagai pengganti orangtua saya setelah itu saya terbiasa dengan perselisihan kedua orangtua saya

    BalasHapus