Sabtu, 19 Mei 2012

BUDAYA MENCONTEK


Mencontek, bukanlah hal baru bagi pelajar dan mahasiswa, bahkan mencontek telah lahir dari sebelum masa melenium ini. Secara garis besar, kita mempraktikan mencontek dari awal proses penempuhan jalur pendidikan, yaitu sudah dimulai dari taman kanak-kanak.
Karena, TK sekarang bukannya hanya diperuntukkan untuk sekedar mengenal warna, mengenal bentuk benda, jenis-jenis huruf dan angka, jenis-jenis hewan, bermain  dan bersosialisasi dengan lingkungannya saja, tetapi dewasa ini di TK anak telah dituntut untuk memiliki kemampuan kognitif yang menunjang mereka untuk masuk ke SD, seperti kemampuan menghitung, mengurang, membanca, dan dapat menyusun kata menjadi sebuah kalimat.
Miris bukan? Memang hal demikian tidaklah buruk bagi anak yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, namun bagi anak yang memiliki kemampuan yang tidak seberapa, hal demikian itu merupakan suatu hal yang sangat berat dan tidak bisa dipikul oleh anak tersebut, karena memang bukan itulah tugas perkembangan kognitif yang seharusnya mereka kerjakan. Sehingga, kecenderungan anak untuk meniru pekerjaan teman-teman mereka yang memiliki kemampuan di atas rata-rata sangatlah tinggi.
Tidak hanya sampai taraf TK saja, bahkan SD, SMP, SMA bahkan tingkat Universitas tidak luput dari virus mencontek yang telah membudaya di Indonesia ini. Kata membudaya tidak salah jika dituliskan pada kata sebelum mencontek, karena dari generasi ke generasi dari satu tingkatan jenjang pendidikan ke satu tingkatan jenjang pendidikan lainnya dari satu mata pelajaran ke mata pelajaran lainnya, bisa dipastikan kata mencontek tidak pernah absen.
Lantas, kalau sudah seperti ini siapa yang dapat disalahkan? Tuntutan zaman? Kurikulum yang terlalu tinggi? Atau masyarakat Indonesian yang memang malas dan tidak ingin berpikir?
Terlalu kompleks memang, kalau kita menentukan mana yang mengapa peserta didik memiliki budaya mencontek yang telah berakar dari generasi ke genarasi, karena hal demikian itu tidak dapat ditentukan hanya dari 1 aspek saja, tetapi harus dilihat dari berbagai aspek yang memang menjadi pondasi awal pembentukan pola pikir anak, mengapa melakukan hal demikian tersebut.
Maka dari itu, selain artikel ini disusun sebagai salah satu syarat tugas akhir mata kuliah Psikologi Pendidikin, penyusunan artikel ini juga sangat saya fokuskan untuk membahas apa sesungguhnya arti dari mencontek atau cheating itu sendiri? Apa penyebab utama peserta didik mencontek? Apa saja trik-trik peserta didik dalam mencontek? Dampak mencontek terhadap pertumbuhan dan perkembangan psikis anak? Bagaimana cara untuk meminimalisir dampak dari tugas-tugas perkembangan anak yang tidak terpenuhi terutama yang disebabkan oleh mencontek tersebut? Dan strategi apa yang bisa pendidik lakukan agar peserta didik tidak melakukan kamuplase tugas atau ujian?
Hal tersebut dikarenakan keingintahuan saya, kenapa kami sebagai pelajar selalu melakukan pencontekan disetiap mata pelajaran yang kami ikuti, dengan demikian dapat diharapkan pembaca dan saya pribadi mampu mengetahui apa itu sebenarnya arti dari mencontek atau cheating, mampu mengetahui alasan-alasan umum peserta didik melakukan kegiatan meniru tersebut, serta mengetahui berbagai macam trik-trik yang sering dibuat oleh peserta didik agar mengelabuhi pendidik, mampu mengetahi dan meminimalisir dampak perkembangan psikis anak dalam menjalankan tugas-tugas perkembangannya, dan pendidik mampu mengetahui cara meminimalisir budaya mencontek dikalangan peserta didik.

Definisi Mencontek atau Cheating

Webster’s New York Dictionary Donald D Carperter mencontek secara sederhana dapat dimaknai sebagai penipuan atau melakukan perbuatan tidak jujjur dan mencontek dapat dimaknai sebagai perilaku kejujuran akademik.
Menyontek atau menjiplak atau ngepek menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Purwadarminta adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya.
Menurut Dellington dalam buku yang ditulis oleh Intan Irawati tahun 2008, mencontek berarti upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak fair (tidak jujur).
Sedangkan menurut Eric M Anderman dan Tamera B Murdock memberikan definisi yang lebih terperinci, mereka menyatakan bahwa perilaku mencontek digolongkan dalam tiga kategori, yaitu:
1.        Memberikan, memberikan atau menerima informasi.
2.        Menggunakan materi yang dilarang atau membuat catatan atau ngepek.
3.        Memanfaatkan kelemahan seseorang, prosedur atau proses untuk mendapatkan keuntungan dalam tugas akademik.
       Menurut Kelley R Taylor mencontek didefinisikan sebagai mengikuti sebuah ujian dengan melalui jalan yang tidak jujur, menjawab pertanyaan dengan cara yang tidak semestinya, yaitu melanggar aturan dalam ujian dan kesepakatan[1].
       Dalam artikel yang ditulis oleh Alhadza (2004) kata menyontek sama dengan cheating. Beliau mengutip pendapat Bower (1964) yang mengatakan cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis.
       Jadi, dari beberapa paparan yang telah ditulis oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa menyontek adalah suatu perbuatan atau cara-cara yang tidak jujur, curang, dan menghalalkan segala cara agar mendapatkan keberhasilan akademis tanpa harus berpikir atau mengerjakan sebuah tuntutan soal atau tugas akademik.

FAKTOR MENCONTEK
      
       Menurut Alhadza (2004) dalam makalahnya mengenai masalah menyontek yang ia istilahkan dengan cheating. Ia menyebarkan kuesioner dengan pertanyaan terbuka kepada sekitar 60 orang teman mahasiswa di PPS UNJ. Dari hasil kuisioner tersebut didapatkan jawaban tentang alasan seseorang melakukan cheating, yaitu[2]:
1.        Karena terpengaruh setelah melihat orang lain melakukan cheating meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.
2.        Terpaksa membuka buku karena pertanyaan ujian terlalu membuku (buku sentris) sehingga memaksa peserta ujian harus menghapal kata demi kata dari buku teks.
3.        Merasa dosen/guru kurang adil dan diskriminatif dalam pemberian nilai.
4.        Adanya peluang karena pengawasan yang tidak ketat.
5.        Takut gagal. Yang bersangkutan tidak siap menghadapi ujian tetapi tidak mau menundanya dan tidak mau gagal.
6.        Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi tidak bersedia mengimbangi dengan belajar keras atau serius.
7.        Tidak percaya diri. Sebenarya yang bersangkutan sudah belajar teratur tetapi ada kekhawatiran akan lupa lalu akan menimbulkan kefatalan, sehingga perlu diantisipasi dengan membawa catatan kecil.
8.        Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga hilang ingatan sama sekali lalu terpaksa buka buku atau bertanya kepada teman yang duduk berdekatan.
9.        Merasa sudah sulit menghafal atau mengingat karena faktor usia, sementara soal yang dibuat penguji sangat menekankan kepada kemampuan mengingat.
10.    Mencari jalan pintas dengan pertimbangan daripada mempelajari sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran soal.
11.    Menganggap sistem penilaian tidak objektif, sehingga pendekatan pribadi kepada dosen/guru lebih efektif daripada belajar serius.
12.    Penugasan guru/dosen yang tidak rasional yang mengakibatkan siswa/mahasiswa terdesak sehingga terpaksa menempuh segala macam cara.
13.    Yakin bahwa dosen/guru tidak akan memeriksa tugas yang diberikan berdasarkan pengalaman sebelumnya sehingga bermaksud membalas dengan mengelabui dosen/guru yang bersangkutan.
Dari sekian banyak alasan yang dituangkan diatas dapat disimpulkan bahwa  alasan siswa mencontek adalah karena adanya tuntutan untuk menjawab pertanyaan yang memang jawabannya berorientasi pada buku, sehingga menyulitkan pelajar untuk menghapal dan kadang lupa, sehingga peserta didik membuka buku atau bertanya pada teman yang duduk disebelahnya, hal demikian juga dilakukan karena tidak adanya pengawasan yang ketat oleh pengawas ujian, dengan demikian peserta didik menjadi mudah untuk melancarkan aksi mencontek.
Tidak mungkin penulis pungkiri, bahwa penulis juga sering melakukan kegiatan ini bukan karena pulis tidak belajar atau tidak percaya diri atas jawaban yang penulis buat, tetapi penulis melakukan itu karena penulis memang benar-benar tidak mengetahui dan tidak memahami maksud dari pertanyaan itu sehingga mengharuskan penulis untuk bertanya kepada teman atau mbah google untuk mengetahuinya.
Tetapi, selain itu ada pula alasan lain peserta didik mencontek. Faktor lain adalah orang tua. Mengapa orang tua? Karena, orang tua memiliki pengaruh besar dalam proses belajar anak. Orangtua juga memiliki macam-macam trik untuk mendidik anaknya, tapi tidak sedikit pula orang tua yang tidak memperhatikan anak-anaknya. Hal itu merupakan salah satu pengaruh yang membuat prestasi peserta didik menurun, apalagi bagi anak-anak BROKEN HOME atau yang orang tuanya bercerai, mereka (anak-anak) akan mengalami penurunan  semangat dalam menempuh pendidikan dan cenderung bermalas-malasan, tidak memperhatikan pelajaran yang dijelaskan dan mencontek ketika ulangan tiba.
Selain, anak yang bermasalah pada kondisi keluarganya, ada pula orang tuan yang memberikan tekanan kepada anak, contohnya saja hina-an hina-an  jika anaknya mendapat nilai jelek, padahal itu akan membuat kondisi anak semakin menurun, karena tekanan mental yang tidak siap, sehingga anak berpikir “dari pada saya dimarahi, lebih baik saya mencontek”. Oleh, karena itu sebagai orang tua, seharusnya tidak memberikan tekanan yang berlebihan kepada anak, karena setiap anak pasti memiliki potensi mereka masing-masing.

TRIK-TRIK MENCONTEK

Sebagai pelajar tentu penulis juga mengetahui berbaagai trik yang dilakukan para peserta didik untuk melancarkan aksi mencontek dan inilah berbagai trik yang biasanya dilakukan.
1.        Membuat catatan sekecil mungkin, agar tidak diketahui dan mudah disembunyikan.
2.        Membuat fotocopyian materi yang diujikan sekecil mungkin, agar memudahkan penyontek untuk menjalankan aksinya.
3.        Melihat pada buku sumber secara langsung, cara ini sebenarnya sangat beresiko apalagi jika posisi tempat ujian tidak mendukung.
4.        Bertanya pada “mbah google”. Ya di zaman yang canggih ini tidak dipungkiri bahwa aksi pencontekan juga tidak bisa dipisahkan, karena segala jenis macam soal yang ingin diketahui jawabannya, hanya tinggal diklik saja dalam Google, dan jawaban pun akan diketahui dengan mudah.
5.        Bertanya pada temen yang duduk di samping kanak, kiri, depan, belakang. Cara tersebut memang terlihat kuno, tapi itu adalah trik yang paling saya sukai.
Disini penulis tulis, agar para guru/dosen mengetahui trik-trik apa saja yang sering dilakukan oleh peserta didiknya, sehingga para guru/dosen lebih waspada dalam melakukan pengawasan terhadap peserta didik. Dan bagi peserta didi disarankan untuk tidak meniru trik-trik diatas karena taktik tersebut telah diketahui oleh guru/dosen yang bersangkutan.

FENOMENA MENCONTEK

Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa, fenomena mencontek sering terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah atau madrasah. Karena, sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek mencontek.
Proses belajar yang orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai menurut Megawangi (2005), biasanya hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling), dan tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Memang sulit untuk mengukur aspek-aspek tersebut, sehingga bentuk soal-soal pasti hafalan atau pilihan berganda (kognitif). Pelajaran agama, PPKN, dan musik yang seharusnya melibatkan aspek afektif, ternyata juga di "kognitifkan" (hafalan) sehingga tidak ada proses refleksi dan apresiasi.
Karena, menghafal buku teks (yang memang diwajibkan untuk bisa menjawab soal ujian), adalah skill yang paling tidak penting bagi manusia. Jadi, mereka di didik hanya menjadi robot; tidak ada inisiatif, dan pasif. Manusia ini biasanya tidak dapat berpikir kritis, dan tidak dapat menganalisis permasalahan, apalagi mencari solusinya, sehingga mudah dipengaruhi dan diprovokasi untuk melakukan hal-hal yang negatif. (Megawangi, 2005)[3].

DAMPAK MENCONTEK

Dampak dari kebiasaan mencontek adalah anak menjadi tidak mandiri / suka bergantung pada orang lain, menjaadi mudah putus asa, dan gampang untuk ditipu[4].
Suka mencontek berarti dia selalu bergantung pada orang lain, termasuk buku atau referensi lainnya, yang menyebabkan anak menjadi tidak mandiri dan seandainya orang ini kelak dewasa dan bekerja, dia akan sulit untuk bekerja sendiri, karena harus selalu ditemani dan ada pembimbing. Sedangkan kalau kerjanya kelompok, dia hanya bisa mengandalkan orang lain. Padahal seharusnya, sebagai individu kita dituntut untuk mampu mandiri.
Selanjutnya adalah mudah putus asa / mudah menyerah. Orang yang suka bergantung pada orang lain, lalu akan kebingungan saat tidak ada satu orangpun yang bisa menolongnya dan dimintai pertolongan. Sehingga ia menjadi ketergantungan dan akhirnya dia akan menjadi mudah putus asa, menyerah, dsb. Sehingga tidak adanya kegiatan yang berlanjut karena tidak ada orang lain disampingnya, padahal tidak semua orang bisa selalu ada disampingnya.
 Dan yang selanjutnya, anak akan gampang ditipu atau dibohongi orang lain. Pertama kali seseorang minta pertolongan pada orang lain, mungkin orang yang dimintai pertolongan akan memberikan pertolongan. Namun semakin sering dia minta pertolongan, lama2 kalau orang yang dimintai pertolongan tidak ikhlas karena Allah SWT, akan menyebabkan orang tersub menjadi sebel dan malah memberikan jawaban yang tidak benar dan cenderung menyesatkan.

CARA MEMINIMALISIR KEADAAN

Pengaruh mencontek sudah sangat jelas dampak negatifnya kepada anak, sehingga diperlukan pencegahan dini agar kegiatan mencontek bisa terminimalisir. Upaya-upaya untuk meminimalisir kebiasaan mencontek sebagai berikut.
Pertama, guru memberikan ujian lisan. Dengan cara ini murid langsung berhadapan dengan guru sehingga murid sulit untuk berbuat nekat(mencontek). Hasil yang diperoleh pun merupakan hasil yang murni dari pemikiran murid. Kedua, seiring perkembangan teknologi, informasi sangat mudah diperoleh. Oleh karenanya, untuk mencegah penyalagunaan teknologi itu, sewaktu diadakan ujian siswa tidak boleh membawa alat komunikasi ke dalam kelas. Ketiga, melakukan pembauran peserta didik ketika mengikuti ujian. Pembauran ini terdiri dari peserta didik dari semua tingkatan(kelas). Keempat, guru harus menanamkan dan meningkatkan kesadaran di kalangan peserta bahwa kegiatan mencontek itu tidak baik dan tidak terpuji[5].
Dengan demikian, diharapkan bahwa peserta didik kedepannya tidak akan melakukan pencontekan lagi, karena mereka telah memiliki kesadaran dan ketauan mereka tentang dampak negatif dari mencontek itu sendiri. Tetapi, hal tersebut tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak adanya kerjasama yang solid antara peserta didik, pendidik dan wali murid(dalam hal ini berperan sebagai kontrol anak di rumah).


DAFTAR PUSTAKA

http://abstrak.digilib.upi.edu/Direktori/TESIS/BIMBINGAN_DAN_KONSELING/0808158__DODY_HARTANTO/T_BP_0808158_Chapter2.pdf

Alhadza, Abdullah. 2004. Makalah Masalah menyontek (Cheating) di Dunia Pendidikan

http://ariesnalu.blogspot.com/2012/05/mencontek-menjadi-suatu-kebiasaan.html


http://suryahandayana.blogspot.com/2011/09/dampak-mencontek_04.html


[1]http://abstrak.digilib.upi.edu/Direktori/TESIS/BIMBINGAN_DAN_KONSELING/0808158__DODY_HARTANTO/T_BP_0808158_Chapter2.pdf
[2] Alhadza, Abdullah, 2004, Masalah menyontek (Cheating) di Dunia Pendidikan
[4] http://suryahandayana.blogspot.com/2011/09/dampak-mencontek_04.html
[5] http://ariesnalu.blogspot.com/2012/05/mencontek-menjadi-suatu-kebiasaan.html

KEHIDUPAN ANAK BROKEN HOME


            Keluarga merupakan himpunan kecil dari pengelompokan individu yang terdiri dari ayah, ibu, anak, paman dan tante, kakek dan nenek, dan lain-lain. Keluarga khususnya orang tua merupakan pilar utama dalam pembertumbuhan dan perkembangan anak.
Pada awalnya ibu merupakan orang pertama yang mempengaruhi perkembangan anak, mengapa demikian? Karena, ibu merupakan orang yang senantiasa berada pada tahap-tahap awal perkembangan anak, dari anak mulai meraba, melihat dan sebagainya. Disini, bukan berarti ayah tidak memiliki peran dalam proses perkembangan anak, karena pada kenyataannya anak memiliki kebutuhan berbeda yang tidak bisa ia dapatkan dari sosok ibu maupun sebaliknya. Jadi, kedua kasih sayang dari ayah dan ibu adalah suatu hal kebutuhan yang memang harus didapatkan oleh anak.
Tetapi, pernahkah anda sadari, bahwa sebagian anak perempuan lebih dekat dengan ayah dibanding dengan ibu?? Tentu saja, hal demikian bukan menjadikan tolak ukur kita untuk mengatakan bahwa anak lebih sayang kepada ayahnya saja dan tidak memperdulikan ibunya, tetapi hal tersebut didasari pada bentuk kasih sayang yang ia dapat pertama kali dari lawan jenis adalah ayah mereka dan hal demikian juga ditemukan pada anak laki-laki yang cenderung lebih dekat kepada ibu.
Oleh karena itu, keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Pandangan tersebut memanglah tepat untuk melukiskan peran keluarga karena, orang tua merupakan orang pertama yang memberikan contoh tingkah laku dan tutur bahasa yang baik maupun kurang baik pada anak, “BUAH JATUH, TIDAK AKAN JAUH DARI POHONNYA” sepertinya peribahasa itu tepat untuk pencerminan perkembangan karakter anak di masa depan.
Sebegitu pentingnya peran orangtua dalam pendidikan karakter anak, dan hal itulah yang mendasari terbentuknya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional[1] No.2 Tahun 1989 pasal 10 ayat 4 yang menyatakan bahwa “ Keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai-nilai moral, dan keterampilan pada anak.
Seperti, yang sudah saya tekankan diatas bahwa keluarga merupakan pilar dasar pembentukan kepribadian anak dan keberhasilan anak mencapai tugas-tugas perkembangannya. Di artikel yang penulis susun, selain diperuntukkan sebagai tugas akhir Mata Kuliah Psikologi Perkembangan, penulis juga ingin mengetahui apa itu broken home, penyebab terjadinya broken home, dampak yang dapat ditimbulkan dari kehidupan anak yang memiliki satu orang tua tunggal dan mengetahui bagaimana cara menanggulangi dampak tersebut, meski hanya diasuh oleh satu orang tua saja.

BROKEN HOME

            Broken Home adalah kurangnya perhatian dari keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua sehingga membuat mental seorang anak menjadi frustasi, brutal dan susah diatur. Istilah “broken home” biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang berantakan akibat orang tua tidak lagi peduli dengan situasi dan keadaan keluarga di rumah. Orang tua tidak lagi perhatian terhadap anak-anaknya, baik masalah di rumah, sekolah, sampai pada perkembangan pergaulan anak-anaknya di masyarakat. Sehingga menimbulkan perceraian atau perselisihan yang berkepanjangan.
Namun, broken home dapat juga diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian[2].
Dengan kata lain broken home adalah suatu keadaa dimana orang tua sudah tidak harmonis, sering bertengkar dan menimbulkan keributan, yang berakibat pada ke tiadaan lagi untuk memberikan kasih sayang dan kepedulian terhadap anak, sehingga anak tidak lagi mendapatkan sesorang untuk diayomi atau dijadikan tauladan bagi mereka.

PENYEBAB BROKEN HOME

Keluarga bermasalah tidak serta merta datang begitu saja, tetapi tentu saja mereka memiliki dasar utama terjadinya perpecahan atau pertengkaran dalam keluarga. Inilah beberapa penyebab utama keluarga disebut broken home, yaitu[3]:
1.        Terjadinya perceraian
Faktor yang menjadi penyebab perceraian adalah pertama adanya disorientasi tujuan suami istri dalam membangun mahligai rumah tangga; kedua, faktor kedewasaan yang mencakup intelektualitas, emosionalitas, dan kemampuan mengelola dan mengatasi berbagai masalah keluarga; ketiga, pengaruh perubahan dan norma yang berkembang di masyarakat.
Semua itu menunjukkan pada sebuah kenyataan dikehidupan suami istri yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang serta dasar-dasar perkawinan yang telah terbina bersama, telah goyah dan tidak mampu lagi menompang keutuhan kehidupan keluarga yang harmonis. Dengan demikian hubungan suami istri antara suami dan istri tersebut makin lama makin renggang, masing-masing atau salah satu membuat jarak sedemikian rupa sehingga komunikasi terputus sama sekali. Hubungan itu menunjukan situas keterasingan dan keterpisahan yang makin melebar dan menjauh ke dalam dunianya sendiri. jadi ada pergeseran arti dan fungsi sehingga masing-masing merasa serba asing tanpa ada rasa kebertautan yang intim lagi.

2.        Kebudayaan bisu dalam keluarga
Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antar anggota keluarga. Keluarga yang tanpa dialog dan komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel dalam jiwa anak-anak. Bila orang tua tidak memberikan kesempatan dialog dan komunikasi dalam arti yang sungguh yaitu bukan basa basi atau sekedar bicara pada hal-hal yang perlu atau penting saja, anak-anak tidak mungkin mau mempercayakan masalah-masalahnya dan membuka diri kepada orang tuanya, mereka lebih baik berdiam diri saja.
Situasi kebudayaan bisu ini akan mampu mematikan kehidupan itu sendiri dan pada sisi yang sama dialog mempunyai peranan yang sangat penting. Kenakalan remaja dapat berakar pada kurangnya dialog dalam masa kanak-kanak dan masa berikutnya, karena orangtua terlalu menyibukkan diri sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta kasih diabaikan. Akibatnya anak menjadi terlantar dalam kesendirian dan kebisuannya.
Ternyata perhatian orangtua dengan memberikan kesenangan materiil belum tentu mampu menyentuh kemanusiaan anak. Dialog tidak dapat digantikan dengan kedudukannya, dengan benda mahal dan bagus atau sebagainya. Karena menggantikan dialog berarti melemparkan anak ke dalam sekumpulan benda mati dan bisa mengancam anak kearah yang liar di dunia luar.
3.        Perang dingin dalam keluarga
Dapat dikatakan perang dingin adalah lebih berat dari pada kebudayaan bisu. Sebab dalam perang dingin selain kurang terciptanya dialog juga disisipi oleh rasa perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak. Sehingga kondisi didalam rumah menjadi tidak nyaman dan menjadi malas pulang kerumah.
4.        Ketidak dewasaan sikap orang tua.
Ketidakdewasaan sikap orang tua salah satunya dilihat dari sikap egoisme dan egosentrime. Egoisme adalah suatu sifat buruk manusia yang mementingkan dirinya sendiri. Sedangkan egosentrisme adalah sikap yang menjadikan dirinya pusat perhatian yang diusahakan oleh seseorang dengan segala cara. Pada orang yang seperti ini orang lain tidaklah penting. Dia mementingkan dirinya sendiri dan bagaimana menarik perhatian pihak lain agar mengikutinya minimal memperhatikannya. Akibatnya orang lain sering tersinggung dan tidak mau mengikutinya.
Misalnya ayah dan ibu bertengkar karena ayah tidak mau membantu mengurus anaknya yang kecil yang sedang menangis alasannya ayah akan pergi main badminton. Padahal ibu sedang sibuk di dapur. Ibu menjadi marah kepada ayah dan ayah pun membalas kemarahan tersebut, terjadilah pertengkaran hebat di depan anak-anaknya, suatu contoh yang buruk yang diberikan oleh keduanya.
5.      Orang tua yang kurang memiliki rasa tanggung jawab
Tidak bertanggungjawabnya orang tua, salah satunya lagi-lagi adalah masalah kesibukan. Kesibukan orang tua dalam urusan ekonomi ini sering membuat mereka melupakan tanggungjawabnya sebagai orang tua. Dalam masalah ini, anak-anaklah yang mendapat dampak negatifnya. Yaitu anak-anak sering tidak diperhatikan baik masalah di rumah, sekolah, sampai pada perkembangan pergaulan anak-anaknya di masyarakat.
6.      Jauh dari Tuhan
Segala sesuatu keburukan perilaku manusia disebabkan karena dia jauh dari Tuhan. Sebab Tuhan mengajarkan agar manusia berbuat baik. Jika keluarga jauh dari Tuhan dan mengutamakan materi dunia semata maka kehancuran dalam keluarga itu akan terjadi. Karena dari keluarga tersebut akan lahir anak-anak yang tidak taat kepada Tuhan dan kedua orang tuanya. Mereka bisa menjadi orang yang berbuat buruk, yang dapat melawan orang tua bahkan pernah terjadi seorang anak yang sudah dewasa membunuh ayahnya karena ayahnya tidak mau menyerahkan surat-surat rumah dan sawah. Tujuannya agar dia dapat menguasai harta tersebut. Maka dari itu, didiklah anak agar dekat kepada Tuhan, karena hanya Tuhan yang mampu memberikan ketenangan batin kepada kita.

7.        Adanya masalah ekonomi
Dalam suatu keluarga mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Istri banyak menuntut hal-hal di luar makan dan minum. Padahal dengan penghasilan suami sebagai buruh lepas, hanya dapat memberi makan dan rumah petak tempat berlindung yang sewanya terjangkau. Akan tetapi yang namanya manusia sering bernafsu ingin memiliki televisi, radio dan sebagainya sebagaimana layaknya sebuah keluarga yang normal. Karena suami tidak sanggup memenuhi tuntutan isteri dan anak-anaknya akan kebutuhan-kebutuhan yang disebutkan tadi, maka timbullah pertengkaran suami istri yang sering menjurus ke arah perceraian.
Berbeda dengan keluarga miskin, keluarga kaya yang mengembangkan gaya hidup internasional yang serba mewah. Mobil, rumah mewah, serta segala macam barang yang baru mengikuti model dunia. Namun tidak semua suami suka hidup sangat glamour atau sebaliknya. Di sinilah awal pertentangan suami istri yaitu soal gaya hidup. Jika istri yang mengikuti gaya hidup dunia sedangkan suami ingin biasa saja, maka pertengkaran dan krisis akan terjadi. Mungkin suami berselingkuh sebagai balas dendam terhadap istrinya yang sulit diatur. Hal ini jika ketahuan akan bertambah parah krisis keluarga tersebut dan dapat berujung pada perceraian, dan yang menderita adalah anak-anak mereka.
8.        Kehilangan kehangatan di dalam keluarga antara orang tua dan anak
Kurang atau putus komunikasi diantara anggota keluarga menyebabkan hilangnya kehangatan di dalam keluarga antara orang tua dan anak. Faktor kesibukan biasanya sering dianggap penyebab utama dari kurangnya komunikasi. Dimana ayah dan ibu bekerja dari pagi hingga sore hari, mereka tidak punya waktu untuk makan siang bersama, sholat berjamaah di rumah dimana ayah menjadi imam, sedang anggota keluarga menjadi jamaah. Tetapi, pada kenyataannya kedua orang tua pulang hampir malam karena jalanan macet, badan capek, sampai di rumah mata sudah mengantuk dan tertidur. Tentu orang tidak mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dengan anak-anaknya.
Akibatnya anak-anak menjadi remaja yang tidak terurus secara psikologis, mereka mengambil keputusan-keputusan tertentu yang membahayakan dirinya seperti berteman dengan anak-anak nakal, merokok, meneguk alkohol, main kebut-kebutan di jalanan sehingga menyusahkan masyarakat. Dan bahaya jika anak terlibat menjadi pemakai narkoba.
9.        Adanya masalah pendidikan
Masalah pendidikan sering menjadi penyebab terjadinya broken home. Jika pendidikan agak lumayan pada suami istri maka wawasan tentang kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka. Sebaliknya pada suami istri yang pendidikannya rendah sering tidak dapat memahami lika-liku keluarga. Karena itu sering salah menyalahkan bila terjadi persoalan di keluarga. Akibatnya selalu terjadi pertengkaran yang mungkin menimbulkan perceraian. Jika pendidikan agama ada atau lumayan mungkin sekali kelemahan dibidang pendidikan akan di atasi. Artinya suami istri akan dapat mengekang nafsu masing-masing sehingga pertengkaran dapat dihindari.
Dari sekian banyak faktor yang menyebabkan terjadinya masalah Broken Home ini, sesungguhnya masalah utamanya adalah komunikasi yang tidak berjalan dan keegoisan yang terus saja ditanam. Seharusnya, sebagai pasang kita bisa memahami dan saling mengalah satu sama lain, sehingga tidak terjadinya mis-komunikasi yang dapat memicu pertengkaran bahkan kebencian, dan perceraian tidak dapat dihindarkan. Lagi-lagi anak adalah korban dari tingkah laku yang dibuat oleh orang tua.

DAMPAK BROKEN HOME

Suatu hal yang tidak sewajarnya terjadi, jelas akan menimbulkan dampak negatif yang tidak bisa dihindari lagi. Broken home juga demikian, hal itu tentu memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan penyelesaian tugas masa remaja.
Masa remaja adalah masa yang dimana seorang sedang mengalami saat kritis, agar ia mampu menginjak ke masa dewasa, dengan demikian remaja berada dalam masa peralihan. Dalam masa peralihan itu pula remaja sedang mencari identitas dirinya. Dalam proses pencarian dirinya, remaja harus memiliki pengayom atau pembimbing agar ia mampu melangkah maju dengan baik, untuk mengikuti proses perkembangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dalam proses perkembangan remaja yang serba sulit dan masa-masa membingungkan dirinya, remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau keluarganya.
Broken home, merupakan salah satu pemicu anak melakukan hal negatif, karena seperti yang disebutkan diatas bahwa anak yang hidup dikeluarga yang hanya memiliki Ibu atan Ayah atau anak yang hidup dalam pertengkaran orang tua yang berkepanjangan, tidak akan mendapatkan contoh yang baik atau pedoman yang baik dalam hidupnya. Dan inilah, beberapa dampak nyata akibat ulah Ayah dan Ibu yang tidak bertanggung jawab[4]:
a.         Gangguan kejiwaan pada seorang Broken Home
1.         Broken Heart
Anak akan merasakan kepedihan dan kehancuran hati sehingga memandang hidup ini sia-sia dan mengecewakan. Kecenderungan ini membentuk anak menjadi, orang yang krisis kasih sayang dan anak akan cenderung berlari kepada yang bersifat keanehan sexual. Misalnya sex bebas, homo sex, lesbian, jadi simpanan orang, tertarik dengan isteri orang, atau suami orang dan lainnya
2.         Broken Relation
Anak akan merasa bahwa tidak ada orang yang perlu di hargai, tidak ada orang yang dapat dipercaya, sebab ketidak adaan orang yang dapat diteladani. Kecenderungan ini membentuk anak menjadi, orang yang masa bodoh terhadap orang lain, ugal ugalan, cari perhatian, kasar, egois, dan tidak mendengar nasihat orang lain, cenderung “semau gue”.


3.         Broken Values
Anak kehilangan ”nilai kehidupan” yang benar. Baginya dalam hidup ini tidak ada yang baik, benar, atau merusak yang ada hanya yang ”menyenangkan” dan yang ”tidak menyenangkan”, pokoknya apa saja yang menyenangkan dirinya akan dilakukan, dan apa yang tidak menyenangkan baginya tidak akan ia  lakukan.
Selain itu, seorang anak korban “Broken Home” akan mengalami tekanan mental yang berat. Misalnya, dia akan merasa malu dan minder terhadap orang di sekitarnya karena kondisi orang tuanya yang sedang dalam keadaan “Broken Home”. Sehingga anak menjadi sulit bergaul selain itu, mungkin ia akan menjadi gunjingan teman sekitar dan proses belajarnya juga akan terganggu, karena pikirannya tidak terkonsentrasi ke pelajaran saja, tetapi juga terhadap perlakuan teman-temannya dan kehidupan pribadi yang sedang ia alami di rumah. Anak tersebut akan cenderung menjadi pendiam dan cenderung menjadi anak yang menyendiri serta suka melamun.
Bahkan Profesor Kelly Musick, sekaligus penulis buku “Are Both Parents Always Better than One? Parental Conflict and Young Adult Well-Being”, mengungkap bahwa seorang anak yang terlahir dan besar dalam keluarga penuh konflik, cenderung menjadi bodoh secara akademis, dan tak sedikit juga yang akhirnya putus sekolah[5].
Hal tersebut dikarenakan, adanya pikiran-pikiran dan bayangan-bayangan negatif seperti menyalahkan takdir yang seolah membuat keluarganya seperti itu. Seakan sudah tidak ada rasa percaya terhadap kehidupan religi yang sudah ia dapat dari kecil, sehingga  tekanan mental itu akan mempengaruhi kejiwaannya dan dapat mengakibatkan stress dan frustrasi. Bahkan seorang anak bisa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

CARA MEMINIMALISIR KEADAAN
           
Menjadi orang tua tunggal memang memiliki banyak tantangan, pekerjaan yang harus dilakukan menjadi lebih besar. Walaupun pekerjaan semakin besar, orang tua harus tetap memikirkan dampak terhadap anak-anaknya. Orang tuan harus rajin menjaga, merawat, dan mendidiknya. Bahkan tantangan terbesar dari orang tua tunggal adalah pengaruh status pada anak-anak. Anak-anak merasa diabaikan, tidak aman, terasing, dan berbeda dari anak-anak lain yang memiliki ayah ibu yang utuh.
Anda harus bisa membangun hubungan dengan anak-anak Anda, sehingga mereka merasa nyaman berbicara dengan Anda. Agar hubungan Anda baik dengan anak-anak, bisa dimulai dengan kegiatan yang menyenangkan. Anda juga bisa membuat dan menetapkan tugas-tugas yang bisa dilakukan bersama untuk anak-anak Anda. Hal ini dilakukan, agar mereka bisa membantu dan mengurangi pekerjaan Anda dan ini juga mengajarkan pada mereka tanggung jawab yang harus dilakukan[6].
Dengan pendidikan tanggung jawab, mental anak-anak akan semakin baik. Mendidik anak tentang tanggung jawab sangat diperlukan karena ketika Anda pergi bekerja, anak yang di rumah sudah mengerti tanggung jawab. Dan jika ada teman-teman yang mengajak utnuk perbuatan-perbuatan kriminal, misalnya narkoba, berkelahi, mereka bisa menolaknya karena mereka sudah mengerti tentang tanggung jawab[7].
Selain itu, ajarkanlah kepada anak untuk mencerna dan memahami tentang keputusan yang sudah diambil, serta mampu melatih dan mendidik anak untuk tidak menyalahkan orang lain, terhadap faktor penyebab terjadinya broken home ini. Selain itu, orang tua harus mampu membantu anak menarik pelajaran positif terhadap maslah yang sedang terjadi dan yang paling utama adalah mendekatkan diri pada tuhan dan kata kanlah akhir dari kehidupan ini.


DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional


http://kosmo.vivanews.com/news/read/117915-efek__broken_home__seorang_anak

http://tulisendw.blogspot.com/2010/05/pengertian-broken-home-dan-dampak.html

http://yuniehidayat.blogspot.com/2010/08/dampak-single-parent-bagi-anak.html


[1] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
[2] http://yuniehidayat.blogspot.com/2010/08/dampak-single-parent-bagi-anak.html
http://yuniehidayat.blogspot.com/2010/08/dampak-single-parent-bagi-anak.html

[4] http://tulisendw.blogspot.com/2010/05/pengertian-broken-home-dan-dampak.html
[5] http://kosmo.vivanews.com/news/read/117915-efek__broken_home__seorang_anak
[6] http://yuniehidayat.blogspot.com/2010/08/dampak-single-parent-bagi-anak.html
[7] Ibid