Mencontek, bukanlah hal
baru bagi pelajar dan mahasiswa, bahkan mencontek telah lahir dari sebelum masa
melenium ini. Secara garis besar, kita mempraktikan mencontek dari awal proses
penempuhan jalur pendidikan, yaitu sudah dimulai dari taman kanak-kanak.
Karena, TK sekarang
bukannya hanya diperuntukkan untuk sekedar mengenal warna, mengenal bentuk
benda, jenis-jenis huruf dan angka, jenis-jenis hewan, bermain dan bersosialisasi dengan lingkungannya saja,
tetapi dewasa ini di TK anak telah dituntut untuk memiliki kemampuan kognitif
yang menunjang mereka untuk masuk ke SD, seperti kemampuan menghitung,
mengurang, membanca, dan dapat menyusun kata menjadi sebuah kalimat.
Miris bukan? Memang hal
demikian tidaklah buruk bagi anak yang memiliki kemampuan diatas rata-rata,
namun bagi anak yang memiliki kemampuan yang tidak seberapa, hal demikian itu
merupakan suatu hal yang sangat berat dan tidak bisa dipikul oleh anak tersebut,
karena memang bukan itulah tugas perkembangan kognitif yang seharusnya mereka
kerjakan. Sehingga, kecenderungan anak untuk meniru pekerjaan teman-teman
mereka yang memiliki kemampuan di atas rata-rata sangatlah tinggi.
Tidak hanya sampai
taraf TK saja, bahkan SD, SMP, SMA bahkan tingkat Universitas tidak luput dari
virus mencontek yang telah membudaya di Indonesia ini. Kata membudaya tidak
salah jika dituliskan pada kata sebelum mencontek, karena dari generasi ke
generasi dari satu tingkatan jenjang pendidikan ke satu tingkatan jenjang
pendidikan lainnya dari satu mata pelajaran ke mata pelajaran lainnya, bisa
dipastikan kata mencontek tidak pernah absen.
Lantas, kalau sudah
seperti ini siapa yang dapat disalahkan? Tuntutan zaman? Kurikulum yang terlalu
tinggi? Atau masyarakat Indonesian yang memang malas dan tidak ingin berpikir?
Terlalu kompleks memang,
kalau kita menentukan mana yang mengapa peserta didik memiliki budaya mencontek
yang telah berakar dari generasi ke genarasi, karena hal demikian itu tidak
dapat ditentukan hanya dari 1 aspek saja, tetapi harus dilihat dari berbagai
aspek yang memang menjadi pondasi awal pembentukan pola pikir anak, mengapa
melakukan hal demikian tersebut.
Maka dari itu, selain
artikel ini disusun sebagai salah satu syarat tugas akhir mata kuliah Psikologi
Pendidikin, penyusunan artikel ini juga sangat saya fokuskan untuk membahas apa
sesungguhnya arti dari mencontek atau cheating itu sendiri? Apa penyebab utama peserta
didik mencontek? Apa saja trik-trik peserta didik dalam mencontek? Dampak
mencontek terhadap pertumbuhan dan perkembangan psikis anak? Bagaimana cara
untuk meminimalisir dampak dari tugas-tugas perkembangan anak yang tidak
terpenuhi terutama yang disebabkan oleh mencontek tersebut? Dan strategi apa
yang bisa pendidik lakukan agar peserta didik tidak melakukan kamuplase tugas
atau ujian?
Hal tersebut
dikarenakan keingintahuan saya, kenapa kami sebagai pelajar selalu melakukan
pencontekan disetiap mata pelajaran yang kami ikuti, dengan demikian dapat diharapkan
pembaca dan saya pribadi mampu mengetahui apa itu sebenarnya arti dari
mencontek atau cheating, mampu mengetahui alasan-alasan umum peserta didik
melakukan kegiatan meniru tersebut, serta mengetahui berbagai macam trik-trik
yang sering dibuat oleh peserta didik agar mengelabuhi pendidik, mampu mengetahi
dan meminimalisir dampak perkembangan psikis anak dalam menjalankan tugas-tugas
perkembangannya, dan pendidik mampu mengetahui cara meminimalisir budaya
mencontek dikalangan peserta didik.
Definisi
Mencontek atau Cheating
Webster’s New York Dictionary
Donald D Carperter mencontek secara sederhana dapat dimaknai sebagai penipuan
atau melakukan perbuatan tidak jujjur dan mencontek dapat dimaknai sebagai
perilaku kejujuran akademik.
Menyontek atau
menjiplak atau ngepek menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan W.J.S.
Purwadarminta adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang
lain sebagaimana aslinya.
Menurut Dellington
dalam buku yang ditulis oleh Intan Irawati tahun 2008, mencontek berarti upaya
yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang
tidak fair (tidak jujur).
Sedangkan menurut Eric
M Anderman dan Tamera B Murdock memberikan definisi yang lebih terperinci,
mereka menyatakan bahwa perilaku mencontek digolongkan dalam tiga kategori,
yaitu:
1.
Memberikan, memberikan atau menerima
informasi.
2.
Menggunakan materi yang dilarang atau
membuat catatan atau ngepek.
3.
Memanfaatkan kelemahan seseorang,
prosedur atau proses untuk mendapatkan keuntungan dalam tugas akademik.
Menurut Kelley R Taylor mencontek didefinisikan sebagai
mengikuti sebuah ujian dengan melalui jalan yang tidak jujur, menjawab
pertanyaan dengan cara yang tidak semestinya, yaitu melanggar aturan dalam
ujian dan kesepakatan[1].
Dalam artikel yang ditulis oleh Alhadza (2004) kata menyontek
sama dengan cheating. Beliau mengutip pendapat Bower (1964) yang mengatakan
cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk
tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau
menghindari kegagalan akademis.
Jadi, dari beberapa paparan yang telah ditulis oleh para ahli
dapat disimpulkan bahwa menyontek adalah suatu perbuatan atau cara-cara yang
tidak jujur, curang, dan menghalalkan segala cara agar mendapatkan keberhasilan
akademis tanpa harus berpikir atau mengerjakan sebuah tuntutan soal atau tugas
akademik.
FAKTOR
MENCONTEK
Menurut Alhadza (2004) dalam makalahnya mengenai masalah
menyontek yang ia istilahkan dengan cheating. Ia menyebarkan kuesioner dengan
pertanyaan terbuka kepada sekitar 60 orang teman mahasiswa di PPS UNJ. Dari
hasil kuisioner tersebut didapatkan jawaban tentang alasan seseorang melakukan
cheating, yaitu[2]:
1.
Karena terpengaruh setelah melihat orang
lain melakukan cheating meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.
2.
Terpaksa membuka buku karena pertanyaan
ujian terlalu membuku (buku sentris) sehingga memaksa peserta ujian harus
menghapal kata demi kata dari buku teks.
3.
Merasa dosen/guru kurang adil dan diskriminatif
dalam pemberian nilai.
4.
Adanya peluang karena pengawasan yang
tidak ketat.
5.
Takut gagal. Yang bersangkutan tidak
siap menghadapi ujian tetapi tidak mau menundanya dan tidak mau gagal.
6.
Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi
tidak bersedia mengimbangi dengan belajar keras atau serius.
7.
Tidak percaya diri. Sebenarya yang
bersangkutan sudah belajar teratur tetapi ada kekhawatiran akan lupa lalu akan
menimbulkan kefatalan, sehingga perlu diantisipasi dengan membawa catatan
kecil.
8.
Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga
hilang ingatan sama sekali lalu terpaksa buka buku atau bertanya kepada teman
yang duduk berdekatan.
9.
Merasa sudah sulit menghafal atau
mengingat karena faktor usia, sementara soal yang dibuat penguji sangat
menekankan kepada kemampuan mengingat.
10.
Mencari jalan pintas dengan pertimbangan
daripada mempelajari sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran
soal.
11.
Menganggap sistem penilaian tidak
objektif, sehingga pendekatan pribadi kepada dosen/guru lebih efektif daripada
belajar serius.
12.
Penugasan guru/dosen yang tidak rasional
yang mengakibatkan siswa/mahasiswa terdesak sehingga terpaksa menempuh segala
macam cara.
13.
Yakin bahwa dosen/guru tidak akan
memeriksa tugas yang diberikan berdasarkan pengalaman sebelumnya sehingga
bermaksud membalas dengan mengelabui dosen/guru yang bersangkutan.
Dari sekian banyak
alasan yang dituangkan diatas dapat disimpulkan bahwa alasan siswa mencontek adalah karena adanya
tuntutan untuk menjawab pertanyaan yang memang jawabannya berorientasi pada
buku, sehingga menyulitkan pelajar untuk menghapal dan kadang lupa, sehingga
peserta didik membuka buku atau bertanya pada teman yang duduk disebelahnya,
hal demikian juga dilakukan karena tidak adanya pengawasan yang ketat oleh
pengawas ujian, dengan demikian peserta didik menjadi mudah untuk melancarkan
aksi mencontek.
Tidak mungkin penulis
pungkiri, bahwa penulis juga sering melakukan kegiatan ini bukan karena pulis
tidak belajar atau tidak percaya diri atas jawaban yang penulis buat, tetapi
penulis melakukan itu karena penulis memang benar-benar tidak mengetahui dan
tidak memahami maksud dari pertanyaan itu sehingga mengharuskan penulis untuk
bertanya kepada teman atau mbah google untuk mengetahuinya.
Tetapi, selain itu ada
pula alasan lain peserta didik mencontek. Faktor lain adalah orang tua. Mengapa
orang tua? Karena, orang tua memiliki pengaruh besar dalam proses belajar
anak. Orangtua juga memiliki macam-macam trik untuk mendidik anaknya, tapi
tidak sedikit pula orang tua yang tidak memperhatikan anak-anaknya. Hal itu merupakan
salah satu pengaruh yang membuat prestasi peserta didik menurun, apalagi bagi
anak-anak BROKEN HOME atau yang orang tuanya bercerai, mereka (anak-anak) akan mengalami
penurunan semangat dalam menempuh pendidikan dan cenderung
bermalas-malasan, tidak memperhatikan pelajaran yang dijelaskan dan mencontek
ketika ulangan tiba.
Selain, anak yang bermasalah pada kondisi
keluarganya, ada pula orang tuan yang memberikan tekanan kepada anak, contohnya
saja hina-an hina-an jika anaknya mendapat nilai jelek, padahal itu akan
membuat kondisi anak semakin menurun, karena tekanan mental yang tidak siap,
sehingga anak berpikir “dari pada saya dimarahi, lebih baik saya mencontek”.
Oleh, karena itu sebagai orang tua, seharusnya tidak memberikan tekanan yang
berlebihan kepada anak, karena setiap anak pasti memiliki potensi mereka
masing-masing.
TRIK-TRIK
MENCONTEK
Sebagai pelajar tentu penulis juga
mengetahui berbaagai trik yang dilakukan para peserta didik untuk melancarkan aksi
mencontek dan inilah berbagai trik yang biasanya dilakukan.
1.
Membuat catatan sekecil mungkin, agar tidak diketahui
dan mudah disembunyikan.
2.
Membuat fotocopyian materi yang diujikan sekecil
mungkin, agar memudahkan penyontek untuk menjalankan aksinya.
3.
Melihat pada buku sumber secara langsung, cara ini
sebenarnya sangat beresiko apalagi jika posisi tempat ujian tidak mendukung.
4.
Bertanya pada “mbah google”. Ya di zaman yang canggih
ini tidak dipungkiri bahwa aksi pencontekan juga tidak bisa dipisahkan, karena
segala jenis macam soal yang ingin diketahui jawabannya, hanya tinggal diklik
saja dalam Google, dan jawaban pun akan diketahui dengan mudah.
5.
Bertanya pada temen yang duduk di samping kanak, kiri,
depan, belakang. Cara tersebut memang terlihat kuno, tapi itu adalah trik yang
paling saya sukai.
Disini penulis tulis, agar para
guru/dosen mengetahui trik-trik apa saja yang sering dilakukan oleh peserta
didiknya, sehingga para guru/dosen lebih waspada dalam melakukan pengawasan
terhadap peserta didik. Dan bagi peserta didi disarankan untuk tidak meniru
trik-trik diatas karena taktik tersebut telah diketahui oleh guru/dosen yang
bersangkutan.
FENOMENA
MENCONTEK
Seperti yang telah
dikatakan diatas bahwa, fenomena mencontek sering terjadi dalam kegiatan belajar
mengajar di sekolah atau madrasah. Karena, sudah dimaklumi bahwa orientasi
belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus
ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang
membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan
praktek mencontek.
Proses belajar yang
orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai menurut Megawangi (2005), biasanya
hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling), dan tidak melibatkan aspek
afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Memang sulit untuk mengukur aspek-aspek
tersebut, sehingga bentuk soal-soal pasti hafalan atau pilihan berganda
(kognitif). Pelajaran agama, PPKN, dan musik yang seharusnya melibatkan aspek
afektif, ternyata juga di "kognitifkan" (hafalan) sehingga tidak ada
proses refleksi dan apresiasi.
Karena, menghafal buku
teks (yang memang diwajibkan untuk bisa menjawab soal ujian), adalah skill yang
paling tidak penting bagi manusia. Jadi, mereka di didik hanya menjadi robot;
tidak ada inisiatif, dan pasif. Manusia ini biasanya tidak dapat berpikir
kritis, dan tidak dapat menganalisis permasalahan, apalagi mencari solusinya,
sehingga mudah dipengaruhi dan diprovokasi untuk melakukan hal-hal yang
negatif. (Megawangi, 2005)[3].
DAMPAK
MENCONTEK
Dampak
dari kebiasaan mencontek adalah anak menjadi tidak mandiri / suka bergantung
pada orang lain, menjaadi mudah putus asa, dan gampang untuk ditipu[4].
Suka
mencontek berarti dia selalu bergantung pada orang lain, termasuk buku atau
referensi lainnya, yang menyebabkan anak menjadi tidak mandiri dan seandainya
orang ini kelak dewasa dan bekerja, dia akan sulit untuk bekerja sendiri,
karena harus selalu ditemani dan ada pembimbing. Sedangkan kalau kerjanya
kelompok, dia hanya bisa mengandalkan orang lain. Padahal seharusnya, sebagai
individu kita dituntut untuk mampu mandiri.
Selanjutnya
adalah mudah putus asa / mudah menyerah. Orang yang suka bergantung pada orang
lain, lalu akan kebingungan saat tidak ada satu orangpun yang bisa menolongnya
dan dimintai pertolongan. Sehingga ia menjadi ketergantungan dan akhirnya dia
akan menjadi mudah putus asa, menyerah, dsb. Sehingga tidak adanya kegiatan
yang berlanjut karena tidak ada orang lain disampingnya, padahal tidak semua
orang bisa selalu ada disampingnya.
Dan yang selanjutnya, anak akan gampang ditipu
atau dibohongi orang lain. Pertama kali seseorang minta pertolongan pada orang
lain, mungkin orang yang dimintai pertolongan akan memberikan pertolongan.
Namun semakin sering dia minta pertolongan, lama2 kalau orang yang dimintai
pertolongan tidak ikhlas karena Allah SWT, akan menyebabkan orang tersub
menjadi sebel dan malah memberikan jawaban yang tidak benar dan cenderung
menyesatkan.
CARA
MEMINIMALISIR KEADAAN
Pengaruh
mencontek sudah sangat jelas dampak negatifnya kepada anak, sehingga diperlukan
pencegahan dini agar kegiatan mencontek bisa terminimalisir. Upaya-upaya untuk
meminimalisir kebiasaan mencontek sebagai berikut.
Pertama, guru
memberikan ujian lisan. Dengan cara ini murid langsung berhadapan dengan guru
sehingga murid sulit untuk berbuat nekat(mencontek). Hasil yang diperoleh pun
merupakan hasil yang murni dari pemikiran murid. Kedua, seiring perkembangan teknologi, informasi sangat mudah
diperoleh. Oleh karenanya, untuk mencegah penyalagunaan teknologi itu, sewaktu
diadakan ujian siswa tidak boleh membawa alat komunikasi ke dalam kelas. Ketiga, melakukan pembauran peserta
didik ketika mengikuti ujian. Pembauran ini terdiri dari peserta didik dari semua
tingkatan(kelas). Keempat, guru harus
menanamkan dan meningkatkan kesadaran di kalangan peserta bahwa kegiatan
mencontek itu tidak baik dan tidak terpuji[5].
Dengan demikian, diharapkan bahwa
peserta didik kedepannya tidak akan melakukan pencontekan lagi, karena mereka
telah memiliki kesadaran dan ketauan mereka tentang dampak negatif dari
mencontek itu sendiri. Tetapi, hal tersebut tidak akan berjalan dengan baik
apabila tidak adanya kerjasama yang solid antara peserta didik, pendidik dan
wali murid(dalam hal ini berperan sebagai kontrol anak di rumah).
DAFTAR
PUSTAKA
http://abstrak.digilib.upi.edu/Direktori/TESIS/BIMBINGAN_DAN_KONSELING/0808158__DODY_HARTANTO/T_BP_0808158_Chapter2.pdf
Alhadza,
Abdullah. 2004. Makalah Masalah menyontek (Cheating) di Dunia Pendidikan
http://ariesnalu.blogspot.com/2012/05/mencontek-menjadi-suatu-kebiasaan.html
http://suryahandayana.blogspot.com/2011/09/dampak-mencontek_04.html
[1]http://abstrak.digilib.upi.edu/Direktori/TESIS/BIMBINGAN_DAN_KONSELING/0808158__DODY_HARTANTO/T_BP_0808158_Chapter2.pdf
[2] Alhadza,
Abdullah, 2004, Masalah menyontek (Cheating) di Dunia Pendidikan
[4] http://suryahandayana.blogspot.com/2011/09/dampak-mencontek_04.html
[5] http://ariesnalu.blogspot.com/2012/05/mencontek-menjadi-suatu-kebiasaan.html