dasar anak alay, labil.
haha
itulah masa-masa yang harus aku lalui.
ingin cepat beranjak ke masa perkembangan dewasa
agar bisa dengan pengalaman yang dimiliki membentuk pola pikir
pola pikir yang matang yang bijaksana dan tidak merugikan siapapun.
tapi, sosok labil dan alay ini juga tidak lepas dari masa perkembangan sebelumnya
bagaimana cara dia mengatasi dan menyelesaikan masalah dalam dirinya.
ya, intinya pola pikir.
mind sat it penting.
ia mempengaruhi pikiran, ucapan bahkan tindakan.
tidak sama satu lain.
semua org memiliki cara yg berbeda.
aku kamu mereka dia
memiliki ciri sendiri
anak kembar sekalipun memiliki ciri yg berbeda.
bagaimana cara orang itu minilai, memahami dan memaknai sesuatu.
itulah hidup, semuany adalah pilihan
Minggu, 18 November 2012
Minggu, 02 September 2012
Senjaku
Senjaku??
Langit penuh dengan hamparan jingga
Sepasang insan sering datang dan melihat karena percaya
Senja sebagai lambang keromantisan
Mungkin itu karena lukisan indah yang terpancar dari pesona jingga senja
Bagiku senja adalah peti pembuka harapan
Matahari pergi menggalkan langit dan pandangan mati
Tak berselang datanglah bulan sebagai pengganti
Penghibur rasa kehidupan yang cerah menjadi sendu yang menentramkan
Banyak bayangan yang datang di kala siang
Menampakkan diri menjadi dirinya yang nyata atau hanya pemalsu diri
Kala bulan datang karena senja, orang-orang hilir mudik kekandang
Merubah diri jadi manusia yang dirinya
Bagiku yang polos akan tertarikan pada senja
Mendeskripsikan makna yang tak kasat mata akan senja
Bahwa dibalik langit yang putih akan tersibak keistimewaan langit
Penuh dengan kelap-kelip bintang dan kehidupan langit malam
Sinar yang akan menghinoptis untuk memandang bulan
Senja garis median antara datang dan pergi
hidup dan mati, baik dan buruk
kaya dan miskin, lurus dan berliku
serta atas pria dan wanita
Tabir kehidupan senjaku
Harapan dan mimpi baru
Langit penuh dengan hamparan jingga
Sepasang insan sering datang dan melihat karena percaya
Senja sebagai lambang keromantisan
Mungkin itu karena lukisan indah yang terpancar dari pesona jingga senja
Bagiku senja adalah peti pembuka harapan
Matahari pergi menggalkan langit dan pandangan mati
Tak berselang datanglah bulan sebagai pengganti
Penghibur rasa kehidupan yang cerah menjadi sendu yang menentramkan
Banyak bayangan yang datang di kala siang
Menampakkan diri menjadi dirinya yang nyata atau hanya pemalsu diri
Kala bulan datang karena senja, orang-orang hilir mudik kekandang
Merubah diri jadi manusia yang dirinya
Bagiku yang polos akan tertarikan pada senja
Mendeskripsikan makna yang tak kasat mata akan senja
Bahwa dibalik langit yang putih akan tersibak keistimewaan langit
Penuh dengan kelap-kelip bintang dan kehidupan langit malam
Sinar yang akan menghinoptis untuk memandang bulan
Senja garis median antara datang dan pergi
hidup dan mati, baik dan buruk
kaya dan miskin, lurus dan berliku
serta atas pria dan wanita
Tabir kehidupan senjaku
Harapan dan mimpi baru
Sabtu, 19 Mei 2012
BUDAYA MENCONTEK
Mencontek, bukanlah hal
baru bagi pelajar dan mahasiswa, bahkan mencontek telah lahir dari sebelum masa
melenium ini. Secara garis besar, kita mempraktikan mencontek dari awal proses
penempuhan jalur pendidikan, yaitu sudah dimulai dari taman kanak-kanak.
Karena, TK sekarang
bukannya hanya diperuntukkan untuk sekedar mengenal warna, mengenal bentuk
benda, jenis-jenis huruf dan angka, jenis-jenis hewan, bermain dan bersosialisasi dengan lingkungannya saja,
tetapi dewasa ini di TK anak telah dituntut untuk memiliki kemampuan kognitif
yang menunjang mereka untuk masuk ke SD, seperti kemampuan menghitung,
mengurang, membanca, dan dapat menyusun kata menjadi sebuah kalimat.
Miris bukan? Memang hal
demikian tidaklah buruk bagi anak yang memiliki kemampuan diatas rata-rata,
namun bagi anak yang memiliki kemampuan yang tidak seberapa, hal demikian itu
merupakan suatu hal yang sangat berat dan tidak bisa dipikul oleh anak tersebut,
karena memang bukan itulah tugas perkembangan kognitif yang seharusnya mereka
kerjakan. Sehingga, kecenderungan anak untuk meniru pekerjaan teman-teman
mereka yang memiliki kemampuan di atas rata-rata sangatlah tinggi.
Tidak hanya sampai
taraf TK saja, bahkan SD, SMP, SMA bahkan tingkat Universitas tidak luput dari
virus mencontek yang telah membudaya di Indonesia ini. Kata membudaya tidak
salah jika dituliskan pada kata sebelum mencontek, karena dari generasi ke
generasi dari satu tingkatan jenjang pendidikan ke satu tingkatan jenjang
pendidikan lainnya dari satu mata pelajaran ke mata pelajaran lainnya, bisa
dipastikan kata mencontek tidak pernah absen.
Lantas, kalau sudah
seperti ini siapa yang dapat disalahkan? Tuntutan zaman? Kurikulum yang terlalu
tinggi? Atau masyarakat Indonesian yang memang malas dan tidak ingin berpikir?
Terlalu kompleks memang,
kalau kita menentukan mana yang mengapa peserta didik memiliki budaya mencontek
yang telah berakar dari generasi ke genarasi, karena hal demikian itu tidak
dapat ditentukan hanya dari 1 aspek saja, tetapi harus dilihat dari berbagai
aspek yang memang menjadi pondasi awal pembentukan pola pikir anak, mengapa
melakukan hal demikian tersebut.
Maka dari itu, selain
artikel ini disusun sebagai salah satu syarat tugas akhir mata kuliah Psikologi
Pendidikin, penyusunan artikel ini juga sangat saya fokuskan untuk membahas apa
sesungguhnya arti dari mencontek atau cheating itu sendiri? Apa penyebab utama peserta
didik mencontek? Apa saja trik-trik peserta didik dalam mencontek? Dampak
mencontek terhadap pertumbuhan dan perkembangan psikis anak? Bagaimana cara
untuk meminimalisir dampak dari tugas-tugas perkembangan anak yang tidak
terpenuhi terutama yang disebabkan oleh mencontek tersebut? Dan strategi apa
yang bisa pendidik lakukan agar peserta didik tidak melakukan kamuplase tugas
atau ujian?
Hal tersebut
dikarenakan keingintahuan saya, kenapa kami sebagai pelajar selalu melakukan
pencontekan disetiap mata pelajaran yang kami ikuti, dengan demikian dapat diharapkan
pembaca dan saya pribadi mampu mengetahui apa itu sebenarnya arti dari
mencontek atau cheating, mampu mengetahui alasan-alasan umum peserta didik
melakukan kegiatan meniru tersebut, serta mengetahui berbagai macam trik-trik
yang sering dibuat oleh peserta didik agar mengelabuhi pendidik, mampu mengetahi
dan meminimalisir dampak perkembangan psikis anak dalam menjalankan tugas-tugas
perkembangannya, dan pendidik mampu mengetahui cara meminimalisir budaya
mencontek dikalangan peserta didik.
Definisi
Mencontek atau Cheating
Webster’s New York Dictionary
Donald D Carperter mencontek secara sederhana dapat dimaknai sebagai penipuan
atau melakukan perbuatan tidak jujjur dan mencontek dapat dimaknai sebagai
perilaku kejujuran akademik.
Menyontek atau
menjiplak atau ngepek menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan W.J.S.
Purwadarminta adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang
lain sebagaimana aslinya.
Menurut Dellington
dalam buku yang ditulis oleh Intan Irawati tahun 2008, mencontek berarti upaya
yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang
tidak fair (tidak jujur).
Sedangkan menurut Eric
M Anderman dan Tamera B Murdock memberikan definisi yang lebih terperinci,
mereka menyatakan bahwa perilaku mencontek digolongkan dalam tiga kategori,
yaitu:
1.
Memberikan, memberikan atau menerima
informasi.
2.
Menggunakan materi yang dilarang atau
membuat catatan atau ngepek.
3.
Memanfaatkan kelemahan seseorang,
prosedur atau proses untuk mendapatkan keuntungan dalam tugas akademik.
Menurut Kelley R Taylor mencontek didefinisikan sebagai
mengikuti sebuah ujian dengan melalui jalan yang tidak jujur, menjawab
pertanyaan dengan cara yang tidak semestinya, yaitu melanggar aturan dalam
ujian dan kesepakatan[1].
Dalam artikel yang ditulis oleh Alhadza (2004) kata menyontek
sama dengan cheating. Beliau mengutip pendapat Bower (1964) yang mengatakan
cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk
tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau
menghindari kegagalan akademis.
Jadi, dari beberapa paparan yang telah ditulis oleh para ahli
dapat disimpulkan bahwa menyontek adalah suatu perbuatan atau cara-cara yang
tidak jujur, curang, dan menghalalkan segala cara agar mendapatkan keberhasilan
akademis tanpa harus berpikir atau mengerjakan sebuah tuntutan soal atau tugas
akademik.
FAKTOR
MENCONTEK
Menurut Alhadza (2004) dalam makalahnya mengenai masalah
menyontek yang ia istilahkan dengan cheating. Ia menyebarkan kuesioner dengan
pertanyaan terbuka kepada sekitar 60 orang teman mahasiswa di PPS UNJ. Dari
hasil kuisioner tersebut didapatkan jawaban tentang alasan seseorang melakukan
cheating, yaitu[2]:
1.
Karena terpengaruh setelah melihat orang
lain melakukan cheating meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.
2.
Terpaksa membuka buku karena pertanyaan
ujian terlalu membuku (buku sentris) sehingga memaksa peserta ujian harus
menghapal kata demi kata dari buku teks.
3.
Merasa dosen/guru kurang adil dan diskriminatif
dalam pemberian nilai.
4.
Adanya peluang karena pengawasan yang
tidak ketat.
5.
Takut gagal. Yang bersangkutan tidak
siap menghadapi ujian tetapi tidak mau menundanya dan tidak mau gagal.
6.
Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi
tidak bersedia mengimbangi dengan belajar keras atau serius.
7.
Tidak percaya diri. Sebenarya yang
bersangkutan sudah belajar teratur tetapi ada kekhawatiran akan lupa lalu akan
menimbulkan kefatalan, sehingga perlu diantisipasi dengan membawa catatan
kecil.
8.
Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga
hilang ingatan sama sekali lalu terpaksa buka buku atau bertanya kepada teman
yang duduk berdekatan.
9.
Merasa sudah sulit menghafal atau
mengingat karena faktor usia, sementara soal yang dibuat penguji sangat
menekankan kepada kemampuan mengingat.
10.
Mencari jalan pintas dengan pertimbangan
daripada mempelajari sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran
soal.
11.
Menganggap sistem penilaian tidak
objektif, sehingga pendekatan pribadi kepada dosen/guru lebih efektif daripada
belajar serius.
12.
Penugasan guru/dosen yang tidak rasional
yang mengakibatkan siswa/mahasiswa terdesak sehingga terpaksa menempuh segala
macam cara.
13.
Yakin bahwa dosen/guru tidak akan
memeriksa tugas yang diberikan berdasarkan pengalaman sebelumnya sehingga
bermaksud membalas dengan mengelabui dosen/guru yang bersangkutan.
Dari sekian banyak
alasan yang dituangkan diatas dapat disimpulkan bahwa alasan siswa mencontek adalah karena adanya
tuntutan untuk menjawab pertanyaan yang memang jawabannya berorientasi pada
buku, sehingga menyulitkan pelajar untuk menghapal dan kadang lupa, sehingga
peserta didik membuka buku atau bertanya pada teman yang duduk disebelahnya,
hal demikian juga dilakukan karena tidak adanya pengawasan yang ketat oleh
pengawas ujian, dengan demikian peserta didik menjadi mudah untuk melancarkan
aksi mencontek.
Tidak mungkin penulis
pungkiri, bahwa penulis juga sering melakukan kegiatan ini bukan karena pulis
tidak belajar atau tidak percaya diri atas jawaban yang penulis buat, tetapi
penulis melakukan itu karena penulis memang benar-benar tidak mengetahui dan
tidak memahami maksud dari pertanyaan itu sehingga mengharuskan penulis untuk
bertanya kepada teman atau mbah google untuk mengetahuinya.
Tetapi, selain itu ada
pula alasan lain peserta didik mencontek. Faktor lain adalah orang tua. Mengapa
orang tua? Karena, orang tua memiliki pengaruh besar dalam proses belajar
anak. Orangtua juga memiliki macam-macam trik untuk mendidik anaknya, tapi
tidak sedikit pula orang tua yang tidak memperhatikan anak-anaknya. Hal itu merupakan
salah satu pengaruh yang membuat prestasi peserta didik menurun, apalagi bagi
anak-anak BROKEN HOME atau yang orang tuanya bercerai, mereka (anak-anak) akan mengalami
penurunan semangat dalam menempuh pendidikan dan cenderung
bermalas-malasan, tidak memperhatikan pelajaran yang dijelaskan dan mencontek
ketika ulangan tiba.
Selain, anak yang bermasalah pada kondisi
keluarganya, ada pula orang tuan yang memberikan tekanan kepada anak, contohnya
saja hina-an hina-an jika anaknya mendapat nilai jelek, padahal itu akan
membuat kondisi anak semakin menurun, karena tekanan mental yang tidak siap,
sehingga anak berpikir “dari pada saya dimarahi, lebih baik saya mencontek”.
Oleh, karena itu sebagai orang tua, seharusnya tidak memberikan tekanan yang
berlebihan kepada anak, karena setiap anak pasti memiliki potensi mereka
masing-masing.
TRIK-TRIK
MENCONTEK
Sebagai pelajar tentu penulis juga
mengetahui berbaagai trik yang dilakukan para peserta didik untuk melancarkan aksi
mencontek dan inilah berbagai trik yang biasanya dilakukan.
1.
Membuat catatan sekecil mungkin, agar tidak diketahui
dan mudah disembunyikan.
2.
Membuat fotocopyian materi yang diujikan sekecil
mungkin, agar memudahkan penyontek untuk menjalankan aksinya.
3.
Melihat pada buku sumber secara langsung, cara ini
sebenarnya sangat beresiko apalagi jika posisi tempat ujian tidak mendukung.
4.
Bertanya pada “mbah google”. Ya di zaman yang canggih
ini tidak dipungkiri bahwa aksi pencontekan juga tidak bisa dipisahkan, karena
segala jenis macam soal yang ingin diketahui jawabannya, hanya tinggal diklik
saja dalam Google, dan jawaban pun akan diketahui dengan mudah.
5.
Bertanya pada temen yang duduk di samping kanak, kiri,
depan, belakang. Cara tersebut memang terlihat kuno, tapi itu adalah trik yang
paling saya sukai.
Disini penulis tulis, agar para
guru/dosen mengetahui trik-trik apa saja yang sering dilakukan oleh peserta
didiknya, sehingga para guru/dosen lebih waspada dalam melakukan pengawasan
terhadap peserta didik. Dan bagi peserta didi disarankan untuk tidak meniru
trik-trik diatas karena taktik tersebut telah diketahui oleh guru/dosen yang
bersangkutan.
FENOMENA
MENCONTEK
Seperti yang telah
dikatakan diatas bahwa, fenomena mencontek sering terjadi dalam kegiatan belajar
mengajar di sekolah atau madrasah. Karena, sudah dimaklumi bahwa orientasi
belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus
ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang
membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan
praktek mencontek.
Proses belajar yang
orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai menurut Megawangi (2005), biasanya
hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling), dan tidak melibatkan aspek
afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Memang sulit untuk mengukur aspek-aspek
tersebut, sehingga bentuk soal-soal pasti hafalan atau pilihan berganda
(kognitif). Pelajaran agama, PPKN, dan musik yang seharusnya melibatkan aspek
afektif, ternyata juga di "kognitifkan" (hafalan) sehingga tidak ada
proses refleksi dan apresiasi.
Karena, menghafal buku
teks (yang memang diwajibkan untuk bisa menjawab soal ujian), adalah skill yang
paling tidak penting bagi manusia. Jadi, mereka di didik hanya menjadi robot;
tidak ada inisiatif, dan pasif. Manusia ini biasanya tidak dapat berpikir
kritis, dan tidak dapat menganalisis permasalahan, apalagi mencari solusinya,
sehingga mudah dipengaruhi dan diprovokasi untuk melakukan hal-hal yang
negatif. (Megawangi, 2005)[3].
DAMPAK
MENCONTEK
Dampak
dari kebiasaan mencontek adalah anak menjadi tidak mandiri / suka bergantung
pada orang lain, menjaadi mudah putus asa, dan gampang untuk ditipu[4].
Suka
mencontek berarti dia selalu bergantung pada orang lain, termasuk buku atau
referensi lainnya, yang menyebabkan anak menjadi tidak mandiri dan seandainya
orang ini kelak dewasa dan bekerja, dia akan sulit untuk bekerja sendiri,
karena harus selalu ditemani dan ada pembimbing. Sedangkan kalau kerjanya
kelompok, dia hanya bisa mengandalkan orang lain. Padahal seharusnya, sebagai
individu kita dituntut untuk mampu mandiri.
Selanjutnya
adalah mudah putus asa / mudah menyerah. Orang yang suka bergantung pada orang
lain, lalu akan kebingungan saat tidak ada satu orangpun yang bisa menolongnya
dan dimintai pertolongan. Sehingga ia menjadi ketergantungan dan akhirnya dia
akan menjadi mudah putus asa, menyerah, dsb. Sehingga tidak adanya kegiatan
yang berlanjut karena tidak ada orang lain disampingnya, padahal tidak semua
orang bisa selalu ada disampingnya.
Dan yang selanjutnya, anak akan gampang ditipu
atau dibohongi orang lain. Pertama kali seseorang minta pertolongan pada orang
lain, mungkin orang yang dimintai pertolongan akan memberikan pertolongan.
Namun semakin sering dia minta pertolongan, lama2 kalau orang yang dimintai
pertolongan tidak ikhlas karena Allah SWT, akan menyebabkan orang tersub
menjadi sebel dan malah memberikan jawaban yang tidak benar dan cenderung
menyesatkan.
CARA
MEMINIMALISIR KEADAAN
Pengaruh
mencontek sudah sangat jelas dampak negatifnya kepada anak, sehingga diperlukan
pencegahan dini agar kegiatan mencontek bisa terminimalisir. Upaya-upaya untuk
meminimalisir kebiasaan mencontek sebagai berikut.
Pertama, guru
memberikan ujian lisan. Dengan cara ini murid langsung berhadapan dengan guru
sehingga murid sulit untuk berbuat nekat(mencontek). Hasil yang diperoleh pun
merupakan hasil yang murni dari pemikiran murid. Kedua, seiring perkembangan teknologi, informasi sangat mudah
diperoleh. Oleh karenanya, untuk mencegah penyalagunaan teknologi itu, sewaktu
diadakan ujian siswa tidak boleh membawa alat komunikasi ke dalam kelas. Ketiga, melakukan pembauran peserta
didik ketika mengikuti ujian. Pembauran ini terdiri dari peserta didik dari semua
tingkatan(kelas). Keempat, guru harus
menanamkan dan meningkatkan kesadaran di kalangan peserta bahwa kegiatan
mencontek itu tidak baik dan tidak terpuji[5].
Dengan demikian, diharapkan bahwa
peserta didik kedepannya tidak akan melakukan pencontekan lagi, karena mereka
telah memiliki kesadaran dan ketauan mereka tentang dampak negatif dari
mencontek itu sendiri. Tetapi, hal tersebut tidak akan berjalan dengan baik
apabila tidak adanya kerjasama yang solid antara peserta didik, pendidik dan
wali murid(dalam hal ini berperan sebagai kontrol anak di rumah).
DAFTAR
PUSTAKA
http://abstrak.digilib.upi.edu/Direktori/TESIS/BIMBINGAN_DAN_KONSELING/0808158__DODY_HARTANTO/T_BP_0808158_Chapter2.pdf
Alhadza,
Abdullah. 2004. Makalah Masalah menyontek (Cheating) di Dunia Pendidikan
http://ariesnalu.blogspot.com/2012/05/mencontek-menjadi-suatu-kebiasaan.html
http://suryahandayana.blogspot.com/2011/09/dampak-mencontek_04.html
[1]http://abstrak.digilib.upi.edu/Direktori/TESIS/BIMBINGAN_DAN_KONSELING/0808158__DODY_HARTANTO/T_BP_0808158_Chapter2.pdf
[2] Alhadza,
Abdullah, 2004, Masalah menyontek (Cheating) di Dunia Pendidikan
[4] http://suryahandayana.blogspot.com/2011/09/dampak-mencontek_04.html
[5] http://ariesnalu.blogspot.com/2012/05/mencontek-menjadi-suatu-kebiasaan.html
KEHIDUPAN ANAK BROKEN HOME
Keluarga merupakan himpunan kecil dari pengelompokan individu yang terdiri dari ayah, ibu, anak, paman dan tante, kakek dan nenek, dan lain-lain. Keluarga khususnya orang tua merupakan pilar utama dalam pembertumbuhan dan perkembangan anak.
Pada awalnya ibu
merupakan orang pertama yang mempengaruhi perkembangan anak, mengapa demikian?
Karena, ibu merupakan orang yang senantiasa berada pada tahap-tahap awal
perkembangan anak, dari anak mulai meraba, melihat dan sebagainya. Disini, bukan
berarti ayah tidak memiliki peran dalam proses perkembangan anak, karena pada
kenyataannya anak memiliki kebutuhan berbeda yang tidak bisa ia dapatkan dari sosok ibu maupun
sebaliknya. Jadi, kedua kasih sayang dari
ayah dan ibu adalah suatu hal kebutuhan yang memang harus didapatkan oleh anak.
Tetapi,
pernahkah anda sadari, bahwa sebagian anak perempuan
lebih dekat dengan ayah dibanding dengan ibu?? Tentu saja, hal demikian bukan
menjadikan tolak ukur kita untuk mengatakan bahwa anak lebih sayang kepada
ayahnya saja dan tidak memperdulikan ibunya, tetapi hal tersebut didasari pada
bentuk kasih sayang yang ia dapat pertama kali dari lawan jenis adalah ayah
mereka dan hal demikian juga ditemukan pada anak laki-laki yang cenderung lebih
dekat kepada ibu.
Oleh karena itu,
keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi
anak. Pandangan tersebut memanglah tepat untuk melukiskan peran keluarga
karena, orang tua merupakan orang pertama yang memberikan contoh tingkah laku
dan tutur bahasa yang baik maupun kurang baik pada anak, “BUAH JATUH, TIDAK
AKAN JAUH DARI POHONNYA” sepertinya peribahasa itu tepat untuk pencerminan
perkembangan karakter anak di masa depan.
Sebegitu pentingnya
peran orangtua dalam pendidikan karakter anak, dan hal itulah yang mendasari
terbentuknya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional[1]
No.2 Tahun 1989 pasal 10 ayat 4 yang menyatakan bahwa “ Keluarga merupakan
bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang memberikan keyakinan agama,
nilai budaya, nilai-nilai moral, dan keterampilan pada anak.
Seperti,
yang sudah saya tekankan diatas bahwa keluarga merupakan pilar dasar
pembentukan kepribadian anak dan keberhasilan anak mencapai tugas-tugas
perkembangannya. Di artikel yang penulis susun, selain diperuntukkan sebagai
tugas akhir Mata Kuliah Psikologi Perkembangan, penulis juga ingin mengetahui
apa itu broken home, penyebab terjadinya broken home, dampak yang dapat
ditimbulkan dari kehidupan anak yang memiliki satu orang tua tunggal dan
mengetahui bagaimana cara menanggulangi dampak tersebut, meski hanya diasuh
oleh satu orang tua saja.
BROKEN HOME
Broken Home adalah kurangnya
perhatian dari keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua sehingga
membuat mental seorang anak menjadi frustasi, brutal dan susah diatur. Istilah
“broken home” biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang berantakan
akibat orang tua tidak lagi peduli dengan situasi dan keadaan keluarga di
rumah. Orang tua tidak lagi perhatian terhadap anak-anaknya, baik masalah di
rumah, sekolah, sampai pada perkembangan pergaulan anak-anaknya di masyarakat.
Sehingga menimbulkan perceraian atau perselisihan yang berkepanjangan.
Namun, broken home dapat juga diartikan dengan kondisi
keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun,
damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang
menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian[2].
Dengan kata lain broken home adalah suatu keadaa dimana orang
tua sudah tidak harmonis, sering bertengkar dan menimbulkan keributan, yang
berakibat pada ke tiadaan lagi untuk memberikan kasih sayang dan kepedulian
terhadap anak, sehingga anak tidak lagi mendapatkan sesorang untuk diayomi atau
dijadikan tauladan bagi mereka.
PENYEBAB BROKEN HOME
Keluarga bermasalah tidak serta merta datang begitu saja,
tetapi tentu saja mereka memiliki dasar utama terjadinya perpecahan atau
pertengkaran dalam keluarga. Inilah beberapa penyebab utama keluarga disebut broken
home, yaitu[3]:
1.
Terjadinya perceraian
Faktor
yang menjadi penyebab perceraian adalah pertama adanya disorientasi tujuan
suami istri dalam membangun mahligai rumah tangga; kedua, faktor kedewasaan
yang mencakup intelektualitas, emosionalitas, dan kemampuan mengelola dan
mengatasi berbagai masalah keluarga; ketiga, pengaruh perubahan dan norma yang
berkembang di masyarakat.
Semua itu menunjukkan
pada sebuah kenyataan dikehidupan suami istri
yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang serta dasar-dasar perkawinan yang telah
terbina bersama,
telah goyah dan tidak mampu lagi menompang keutuhan kehidupan keluarga yang
harmonis. Dengan demikian hubungan suami istri antara suami dan istri tersebut
makin lama makin renggang, masing-masing atau salah satu membuat jarak
sedemikian rupa sehingga komunikasi terputus sama sekali. Hubungan itu
menunjukan situas keterasingan dan keterpisahan yang makin melebar dan menjauh
ke dalam dunianya sendiri. jadi ada pergeseran arti dan fungsi sehingga
masing-masing merasa serba asing tanpa ada rasa kebertautan yang intim lagi.
2.
Kebudayaan bisu dalam
keluarga
Kebudayaan
bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antar anggota keluarga. Keluarga yang tanpa
dialog dan komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel dalam
jiwa anak-anak. Bila orang tua tidak memberikan kesempatan dialog dan
komunikasi dalam arti yang sungguh yaitu bukan basa basi atau sekedar bicara
pada hal-hal yang perlu atau penting saja,
anak-anak tidak mungkin mau mempercayakan masalah-masalahnya dan membuka diri kepada orang tuanya, mereka
lebih baik berdiam diri saja.
Situasi
kebudayaan bisu ini akan mampu mematikan kehidupan itu sendiri dan pada sisi
yang sama dialog mempunyai peranan yang sangat penting. Kenakalan remaja dapat
berakar pada kurangnya dialog dalam masa kanak-kanak dan masa berikutnya,
karena orangtua terlalu menyibukkan diri sedangkan kebutuhan yang lebih
mendasar yaitu cinta kasih diabaikan. Akibatnya anak menjadi terlantar dalam
kesendirian dan kebisuannya.
Ternyata
perhatian orangtua dengan memberikan kesenangan materiil belum tentu mampu menyentuh
kemanusiaan anak. Dialog tidak dapat digantikan dengan kedudukannya, dengan benda mahal dan
bagus atau sebagainya. Karena menggantikan dialog
berarti melemparkan anak ke dalam sekumpulan benda mati dan bisa mengancam anak kearah yang liar di dunia luar.
3.
Perang dingin dalam
keluarga
Dapat
dikatakan perang dingin adalah lebih berat dari pada kebudayaan bisu. Sebab
dalam perang dingin selain kurang terciptanya dialog juga disisipi oleh rasa
perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak. Sehingga kondisi didalam rumah menjadi tidak nyaman dan
menjadi malas pulang kerumah.
4.
Ketidak dewasaan sikap orang tua.
Ketidakdewasaan
sikap orang tua salah satunya dilihat dari sikap egoisme dan egosentrime.
Egoisme adalah suatu sifat buruk manusia yang mementingkan dirinya sendiri.
Sedangkan egosentrisme adalah sikap yang menjadikan dirinya pusat perhatian
yang diusahakan oleh seseorang dengan segala cara. Pada orang yang seperti ini
orang lain tidaklah penting. Dia mementingkan dirinya sendiri dan bagaimana
menarik perhatian pihak lain agar mengikutinya minimal memperhatikannya.
Akibatnya orang lain sering tersinggung dan tidak mau mengikutinya.
Misalnya
ayah dan ibu bertengkar karena ayah tidak mau membantu mengurus anaknya yang
kecil yang sedang menangis alasannya ayah akan pergi main badminton. Padahal
ibu sedang sibuk di dapur. Ibu menjadi marah kepada ayah dan ayah pun membalas
kemarahan tersebut, terjadilah pertengkaran hebat di depan anak-anaknya, suatu
contoh yang buruk yang diberikan oleh keduanya.
5. Orang
tua yang kurang memiliki rasa tanggung jawab
Tidak
bertanggungjawabnya orang tua, salah satunya lagi-lagi adalah masalah
kesibukan. Kesibukan orang tua dalam urusan ekonomi ini sering membuat mereka
melupakan tanggungjawabnya sebagai orang tua. Dalam masalah ini, anak-anaklah
yang mendapat dampak negatifnya. Yaitu anak-anak sering tidak diperhatikan baik
masalah di rumah, sekolah, sampai pada perkembangan pergaulan anak-anaknya di
masyarakat.
6. Jauh
dari Tuhan
Segala
sesuatu keburukan perilaku manusia disebabkan karena dia jauh dari Tuhan. Sebab
Tuhan mengajarkan agar manusia berbuat baik. Jika keluarga jauh dari Tuhan dan
mengutamakan materi dunia semata maka kehancuran dalam keluarga itu akan
terjadi. Karena dari keluarga tersebut akan lahir anak-anak yang tidak taat
kepada Tuhan dan kedua orang tuanya. Mereka bisa menjadi orang yang berbuat
buruk, yang dapat melawan orang tua bahkan pernah terjadi seorang anak yang
sudah dewasa membunuh ayahnya karena ayahnya tidak mau menyerahkan surat-surat
rumah dan sawah. Tujuannya agar dia dapat menguasai harta tersebut. Maka dari
itu, didiklah anak agar dekat kepada Tuhan, karena hanya Tuhan yang mampu
memberikan ketenangan batin kepada kita.
7.
Adanya masalah ekonomi
Dalam
suatu keluarga mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Istri
banyak menuntut hal-hal di luar makan dan minum. Padahal dengan penghasilan
suami sebagai buruh lepas, hanya dapat memberi makan dan rumah petak tempat
berlindung yang sewanya terjangkau. Akan tetapi yang namanya manusia sering
bernafsu ingin memiliki televisi, radio dan sebagainya sebagaimana layaknya
sebuah keluarga yang normal. Karena suami tidak sanggup memenuhi tuntutan
isteri dan anak-anaknya akan kebutuhan-kebutuhan yang disebutkan tadi, maka
timbullah pertengkaran suami istri yang sering menjurus ke arah perceraian.
Berbeda
dengan keluarga miskin, keluarga kaya yang mengembangkan gaya hidup
internasional yang serba mewah. Mobil, rumah mewah, serta segala macam barang
yang baru mengikuti model dunia. Namun tidak semua suami suka hidup sangat
glamour atau sebaliknya. Di sinilah awal pertentangan suami istri yaitu soal
gaya hidup. Jika istri yang mengikuti gaya hidup dunia sedangkan suami ingin
biasa saja, maka pertengkaran dan krisis akan terjadi. Mungkin suami
berselingkuh sebagai balas dendam terhadap istrinya yang sulit diatur. Hal ini
jika ketahuan akan bertambah parah krisis keluarga tersebut dan dapat berujung
pada perceraian, dan yang menderita adalah anak-anak mereka.
8.
Kehilangan kehangatan di dalam keluarga antara orang
tua dan anak
Kurang
atau putus komunikasi diantara anggota keluarga menyebabkan hilangnya
kehangatan di dalam keluarga antara orang tua dan anak. Faktor kesibukan
biasanya sering dianggap penyebab utama dari kurangnya komunikasi. Dimana ayah
dan ibu bekerja dari pagi hingga sore hari, mereka tidak punya waktu untuk
makan siang bersama, sholat berjamaah di rumah dimana ayah menjadi imam, sedang
anggota keluarga menjadi jamaah. Tetapi, pada kenyataannya kedua orang tua
pulang hampir malam karena jalanan macet, badan capek, sampai di rumah mata
sudah mengantuk dan tertidur. Tentu orang tidak mempunyai kesempatan untuk
berdiskusi dengan anak-anaknya.
Akibatnya
anak-anak menjadi remaja yang tidak terurus secara psikologis, mereka mengambil
keputusan-keputusan tertentu yang membahayakan dirinya seperti berteman dengan
anak-anak nakal, merokok, meneguk alkohol, main kebut-kebutan di jalanan
sehingga menyusahkan masyarakat. Dan bahaya jika anak terlibat menjadi pemakai
narkoba.
9.
Adanya masalah pendidikan
Masalah
pendidikan sering menjadi penyebab terjadinya broken home. Jika pendidikan agak
lumayan pada suami istri maka wawasan tentang kehidupan keluarga dapat dipahami
oleh mereka. Sebaliknya pada suami istri yang pendidikannya rendah sering tidak
dapat memahami lika-liku keluarga. Karena itu sering salah menyalahkan bila
terjadi persoalan di keluarga. Akibatnya selalu terjadi pertengkaran yang
mungkin menimbulkan perceraian. Jika pendidikan agama ada atau lumayan mungkin
sekali kelemahan dibidang pendidikan akan di atasi. Artinya suami istri akan
dapat mengekang nafsu masing-masing sehingga pertengkaran dapat dihindari.
Dari sekian banyak faktor yang menyebabkan terjadinya masalah
Broken Home ini, sesungguhnya masalah utamanya adalah komunikasi yang tidak
berjalan dan keegoisan yang terus saja ditanam. Seharusnya, sebagai pasang kita
bisa memahami dan saling mengalah satu sama lain, sehingga tidak terjadinya
mis-komunikasi yang dapat memicu pertengkaran bahkan kebencian, dan perceraian
tidak dapat dihindarkan. Lagi-lagi anak adalah korban dari tingkah laku yang
dibuat oleh orang tua.
DAMPAK BROKEN HOME
Suatu hal yang tidak sewajarnya terjadi, jelas akan
menimbulkan dampak negatif yang tidak bisa dihindari lagi. Broken home juga
demikian, hal itu tentu memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan penyelesaian
tugas masa remaja.
Masa remaja adalah masa yang dimana seorang sedang mengalami
saat kritis, agar ia mampu menginjak ke masa dewasa, dengan demikian remaja
berada dalam masa peralihan. Dalam masa peralihan itu pula remaja sedang
mencari identitas dirinya. Dalam proses pencarian dirinya, remaja harus
memiliki pengayom atau pembimbing agar ia mampu melangkah maju dengan baik,
untuk mengikuti proses perkembangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dalam
proses perkembangan remaja yang serba sulit dan masa-masa membingungkan
dirinya, remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang yang dicintai dan
dekat dengannya terutama orang tua atau keluarganya.
Broken home, merupakan salah satu pemicu anak melakukan hal
negatif, karena seperti yang disebutkan diatas bahwa anak yang hidup dikeluarga
yang hanya memiliki Ibu atan Ayah atau anak yang hidup dalam pertengkaran orang
tua yang berkepanjangan, tidak akan mendapatkan contoh yang baik atau pedoman
yang baik dalam hidupnya. Dan inilah, beberapa dampak nyata akibat ulah Ayah
dan Ibu yang tidak bertanggung jawab[4]:
a.
Gangguan kejiwaan pada seorang
Broken Home
1.
Broken Heart
Anak akan merasakan kepedihan dan kehancuran hati sehingga
memandang hidup ini sia-sia dan
mengecewakan. Kecenderungan ini membentuk anak menjadi, orang yang
krisis kasih sayang dan anak akan
cenderung berlari kepada yang bersifat keanehan sexual. Misalnya
sex bebas, homo sex, lesbian, jadi simpanan orang,
tertarik dengan isteri orang, atau suami orang dan lainnya
2.
Broken Relation
Anak akan merasa bahwa tidak ada orang yang perlu di hargai, tidak
ada orang yang dapat dipercaya, sebab ketidak adaan orang yang
dapat diteladani. Kecenderungan ini membentuk anak menjadi, orang yang masa bodoh terhadap orang lain, ugal
ugalan, cari perhatian, kasar, egois, dan tidak mendengar nasihat orang lain,
cenderung “semau gue”.
3.
Broken Values
Anak kehilangan ”nilai kehidupan” yang benar. Baginya dalam
hidup ini tidak ada yang baik, benar, atau merusak yang ada hanya yang
”menyenangkan” dan yang ”tidak menyenangkan”, pokoknya apa saja yang
menyenangkan dirinya akan dilakukan, dan apa yang tidak menyenangkan baginya tidak akan ia lakukan.
Selain itu, seorang anak korban “Broken
Home” akan mengalami tekanan mental yang berat. Misalnya, dia akan merasa malu
dan minder terhadap orang di sekitarnya karena kondisi orang tuanya yang sedang
dalam keadaan “Broken Home”. Sehingga anak
menjadi sulit bergaul selain itu, mungkin ia akan
menjadi gunjingan teman sekitar dan proses
belajarnya juga akan
terganggu,
karena pikirannya tidak terkonsentrasi ke pelajaran saja, tetapi juga terhadap perlakuan teman-temannya dan
kehidupan pribadi yang sedang ia alami di rumah.
Anak tersebut akan cenderung menjadi pendiam dan
cenderung menjadi anak yang menyendiri serta suka melamun.
Bahkan
Profesor Kelly Musick, sekaligus penulis buku “Are
Both Parents Always Better than One? Parental Conflict and Young Adult
Well-Being”, mengungkap bahwa seorang anak yang terlahir dan besar dalam
keluarga penuh konflik, cenderung menjadi bodoh secara akademis, dan tak
sedikit juga yang akhirnya putus sekolah[5].
Hal
tersebut dikarenakan, adanya pikiran-pikiran dan
bayangan-bayangan negatif seperti menyalahkan takdir yang seolah membuat
keluarganya seperti itu. Seakan sudah tidak ada rasa percaya terhadap kehidupan
religi yang sudah ia dapat dari
kecil, sehingga tekanan mental itu akan mempengaruhi
kejiwaannya dan
dapat mengakibatkan stress dan frustrasi.
Bahkan seorang anak bisa
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
CARA MEMINIMALISIR KEADAAN
Menjadi orang tua tunggal memang memiliki banyak tantangan,
pekerjaan yang harus dilakukan menjadi lebih besar. Walaupun pekerjaan semakin
besar, orang tua harus tetap memikirkan dampak terhadap anak-anaknya. Orang
tuan harus rajin menjaga, merawat, dan mendidiknya. Bahkan tantangan terbesar
dari orang tua tunggal adalah pengaruh status pada anak-anak. Anak-anak merasa
diabaikan, tidak aman, terasing, dan berbeda dari anak-anak lain yang memiliki
ayah ibu yang utuh.
Anda harus bisa membangun hubungan dengan anak-anak Anda,
sehingga mereka merasa nyaman berbicara dengan Anda. Agar hubungan Anda baik
dengan anak-anak, bisa dimulai dengan kegiatan yang menyenangkan. Anda juga bisa
membuat dan menetapkan tugas-tugas yang bisa dilakukan bersama untuk anak-anak
Anda. Hal ini dilakukan, agar mereka bisa membantu dan mengurangi pekerjaan
Anda dan ini juga mengajarkan pada mereka tanggung jawab yang harus dilakukan[6].
Dengan pendidikan tanggung jawab, mental anak-anak akan
semakin baik. Mendidik anak tentang tanggung jawab sangat diperlukan karena
ketika Anda pergi bekerja, anak yang di rumah sudah mengerti tanggung jawab.
Dan jika ada teman-teman yang mengajak utnuk perbuatan-perbuatan kriminal,
misalnya narkoba, berkelahi, mereka bisa menolaknya karena mereka sudah mengerti
tentang tanggung jawab[7].
Selain itu, ajarkanlah kepada anak untuk mencerna dan memahami
tentang keputusan yang sudah diambil, serta mampu melatih dan mendidik anak
untuk tidak menyalahkan orang lain, terhadap faktor penyebab terjadinya broken
home ini. Selain itu, orang tua harus mampu membantu anak menarik pelajaran
positif terhadap maslah yang sedang terjadi dan yang paling utama adalah
mendekatkan diri pada tuhan dan kata kanlah akhir dari kehidupan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
http://kosmo.vivanews.com/news/read/117915-efek__broken_home__seorang_anak
http://tulisendw.blogspot.com/2010/05/pengertian-broken-home-dan-dampak.html
http://yuniehidayat.blogspot.com/2010/08/dampak-single-parent-bagi-anak.html
[1]
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
[2]
http://yuniehidayat.blogspot.com/2010/08/dampak-single-parent-bagi-anak.html
http://yuniehidayat.blogspot.com/2010/08/dampak-single-parent-bagi-anak.html
[5]
http://kosmo.vivanews.com/news/read/117915-efek__broken_home__seorang_anak
[6]
http://yuniehidayat.blogspot.com/2010/08/dampak-single-parent-bagi-anak.html
Langganan:
Postingan (Atom)